Kamis, 14 April 2016


LAPORAN PRAKTIKUM PTPK

BAB I

PENDAHULUAN
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan salah satu jenis sapi perah yang banyak dikembangkan di Indonesia karena produksi susunya yang tinggi.  Produktivitas sapi perah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak.  Iklim di Indonesia yang cenderung panas membuat produksi susu sapi perah kurang maksimal.  Untuk itu perlu diterapkan manajemen pemeliharaan yang baik, termasuk didalamnya terdapat pencatatan data lengkap pertumbuhan sapi perah.  Dengan menerapkan manajemen pemeliharaan yang sesuai, nutrien yang terkandung dalam susu juga akan berkualitas baik.
Tujuan praktikum produksi ternak perah ini adalah untuk mengetahui hubungan antara fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, mengetahui bagaimana perkandangan sapi perah yang baik dan guna recording dalam pemeliharaan sapi perah serta mengidentifikasikan anatomi ambing beserta fungsinya dan proses sintesis susu pada sapi perah.  Manfaat dari praktikum produksi ternak perah adalah praktikan dapat mengevaluasi kondisi fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak sapi perah terhadap kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan serta mampu menjelaskan mekanisme pengeluaran susu dari ambing sapi perah.




BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.      Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal, dengan ciri - ciri yang hampir menyerupai FH tetapi produksi susu relatif lebih rendah dari FH dan badannya juga lebih kecil (Putra, 2009).  Sapi ini termasuk jinak dan merupakan sapi tipe besar, dengan berat betina berkisar antara 540 – 680 kg dan yang jantan dapat mencapai 800 kg atau lebih.  Produksi susu sapi PFH di Indonesia berkisar antara 2500 – 3500 kg per laktasi. Sapi PFH memiliki ciri-ciri berwarna belang hitam putih atau merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk ambing seperti cawan dengan puting susu yang kebanyakan kecil dan kurang seragam, terdapat bulu putih yang berbentuk segitiga pada dahi (Blakely dan Bade, 1995).
2.2.      Fisiologi Lingkungan Sapi Perah
Iklim di suatu wilayah  terdiri atas iklim makro dan iklim mikro.  Iklim makro merupakan interaksi komponen cuaca disuatu kawasan tertentu sedangkan iklim mikro merupakan interaksi komponen cuaca di wilayah yang sempit atau keadaan iklim disekitar ternak ditempatkan (Putra, 2009).  Suhu dan kelembapan udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Yani dan Purwanto, 2006).

2.2.1.   Suhu Lingkungan
Suhu merupakan faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Yani dan Purwanto, 2006).  Suhu lingkungan yang tinggi dapat menambah beban panas pada ternak selain panas yang berasal dari proses metabolisme pakan (Utomo et al., 2009).
2.2.2.   Kelembapan
Sapi perah membutuhkan kelembapan yang ideal antara 60 sampai 70% (Sudono et al., 2003).  Produktifitas sapi perah dipengaruhi oleh kelembapan udara yang akan berpengaruh terhadap kondisi fisiologisnya sehingga produktifitasnya  dapat terganggu (Aisyah, 2011).

2.2.3.   Radiasi Matahari
Radiasi matahari adalah pancaran gelombang radiasi pemindahan panas suatu benda ke benda lain baik secara langsung maupun pantulan.  Radiasi matahari yang terkena secara langsung terhadap ternak akan menyebabkan ternak merasa tidak nyaman.  Kondisi cekaman panas matahari terhadap sapi FH dipengaaruhi oleh jenis warna kulit atau warna bulu.  Ternak dengan bulu pendek dan berwarna terang dan juga memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap hal ini menjadikan ternak mampu mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari  (Yani dan Purwanto, 2006).  Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan dengan pengeluaran energi radiasi matahari berkisar antara 210,8-459,9 kCal/m2/jam.   Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman.  Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman.  Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi.  Cekaman panas sedang ditandai dengan terjadinya pelepasan panas tubuh sebanyak 50% melalui proses respirasi, pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit atau melalui pertukaran panas di saluran pernapasan (Suherman dan Purwanto, 2015).

2.2.4.   Perkandangan Sapi Perah
            Kandang berfungsi sebagai tempat tinggal untuk ternak selama pemeliharaan dan untuk melindungi ternak dari gangguan cuaca.  Kandang yang baik untuk sapi perah yaitu kandang yang nyaman, bersih dan tidak terlalu sempit. Ukuran stall  kandang untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m untuk sapi  betina dewasa adalah 1,8 x 2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5 x 1 m per ekor (Sukmawati, 2010). Pembuatan kandang harus memperhatikan bahan bangunan yang digunakan, tinggi, luas, bahan atap dan bukaan ventilasi agar sapi nyaman (Yani et al., 2005).  Kandang sapi perah memiliki standar ukuran panjang × lebar sebesar ± 13 × 6,3 m (Yani et al., 2007). Tipe kandang tail to tail dapat mengurangi penularan penyakit dan memudahkan saat sanitasi kandang
(Santosa
et al,. 2012).  Palung pakan dan tempat minum dapat dibuat dari tembok beton yang bagian dasarnya dibuat cekung dengan lubang pembuangan air pada bagian bawah atau tempat pakan dapat juga dibuat dari bahan papan atau kayu dan tempat minum menggunakan ember (Siregar, 2003).
2.3.      Fisiologi Ternak Sapi Perah 
Fisiologi ternak perah meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernafasan, tingkah konsumsi air minum, urinasi serta defekasi.  Pengetahuan tentang fisiologi sapi perah sangat penting karena menentukan keberhasilan dari usaha peternakan sapi perah disamping faktor genetik, tingkah laku dan pakan (Anderson, 1970).  Penampilan ternak dipengaruhi oleh lingkungan, peralatan dan fasilitas penanganan ternak yang berakibat pada perubahan fisiologis dan tingkah laku ternak (Akoso, 2008).
2.3.1.   Suhu Tubuh
            Suhu rektal yang normal pada sapi perah berkisar antara 38,6 - 39,2°C (Suherman dan Purwanto, 2015).  Suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh tingkah laku, konsumsi pakan dan suhu lingkungan, semakin meningkatnya suhu lingkungan maka suhu rektal semakin meningkat (Utomo et al., 2009). 
2.3.2.   Denyut Nadi 
            Denyut jantung sapi FH yang sehat pada daerah nyaman adalah 60  sampai  70 kali/menit (Yani dan Purwanto, 2006).  Semakin meningkat kelembapan udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu yang meningkat, akan diperoleh hasil prediksi pada frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi yang semakin meningkat (Suherman et al., 2013).

2.3.3.   Frekuensi Nafas
Frekuensi nafas yang normal pada sapi perah ialah berkisar antara 10 sampai 30 kali/menit (Yani dan Purwanto, 2006).  Peningkatan suhu udara diatas suhu termonetral menyebabkan sapi menderita suhu kritis atau dimulainya menderita cekaman, sehingga mekanisme termoregulasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung dan penguapan air melalui kulit (Suherman et al., 2013).

2.3.4.   Konsumsi Air Minum
Konsumsi air minum pada ternak diberikan secara non ad libitum atau secara terkontrol yang dibatasi dengan kuantitasnya.  Kondisi lingkungan yang tidak nyaman, pada suhu lingkungan malam hari sekitar 27°C dan siang hari 35°C, sapi FH mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58 – 12,76 % dari bobot badan (Yani dan Purwanto, 2006).  Konsumsi air minum yang mengalami peningkatan dipengaruhi oleh cekaman panas pada sapi perah sehingga saat tubuh ternak mengalami cekaman panas, tubuh akan menurunkan laju metabolisme dengan menekan sekresi hormon tiroksin serta mengeluarkan heat shock proteins yang memiliki peranan penting untuk merespon stress panas dan jenis stress seluler lainnya dan dalam tingkat regulasi dan efisiensi perkembangan otot (Suherman dan Purwanto, 2015).
2.3.5.   Frekuensi Urinasi
Urin adalah cairan sisa hasil dari penyaringan selama proses pencernaan pada ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan akan dikeluarkan dari tubuh melalui proses urinasi.  Urinasi merupakan suatu cara yang dilakukan oleh ternak untuk mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara mengeluarkan cairan urin atau sisa-sisa yang tidak bermanfaat bagi tubuh (Akoso, 2008).  Pelepasan panas sapi perah dapat dilakukan melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan dan sebagian melalui feses dan urin (Purwanto et al., 1995).  Frekuensi urinasi dalam kondisi normal pada sapi berkisar antara 5 sampai 7 kali sebanyak 6 sampai 12 liter dalam sehari (Yani dan Purwanto, 2010).

2.3.6.   Frekuensi Defekasi
Defekasi merupakan suatu usaha ternak untuk menyeimbangkan kondisi tubuhnya dengan cara mengeluarkan feses.  Feses merupakan hasil sisa proses pencernaan setelah pakan yang masuk ke dalam sistem pencernaan yang mengalami degradasi dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari dalam tubuh (Blakely dan Bade, 1995).  Proses pembentukan  feses pada sapi perah dimulai dari masuknya bahan pakan melalui mulut sampai keluarnya feses dari anus memerlukan waktu 5 sampai 7 jam (Siregar, 1993).  Sapi dapat mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai 8 kali/hari dan mengeluarkan 8% dari berat badannya (Soetarno, 2003).
2.4.      Anatomi Biologis Ambing
2.4.1.   Perkembangan Ambing
            Perkembangan mammae (mammogenesis) terbagi menjadi empat periode, yaitu perkembangan embrionik, perkembangan fetus, perkembangan pada periode pertumbuhan postnatal dan perkembangan selama kebuntingan (Lestari, 2006).  Perkembangan ambing mengalami pertumbuhan yang pesat pada periode kebuntingan, hal ini disebabkan adanya peran aktif korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan estrogen dan laktogen plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem saluran kelenjar ambing (Sutopo, 2001). 

2.4.2.   Anatomi dan Fisiologi Ambing 
Ambing memiliki dua bagian yaitu bagian eksterior dan interior, pada bagian luar ambing terdapat dua ligamen yaitu ligamentum suspensorial medialis yang berfungsi sebagai penunjang dan pemisah ambing bagian kanan dan kiri serta ligamentum suspensorial lateral yang berfungsi melekatkan ambing pada abdomen.  (Reece et al., 2015).  Ambing terdiri dari 4 kuartir yang terpisah yaitu depan belakang serta kanan dan kiri (Rahayu, 2015).  Bagian eksterior ambing diantaranya ligamentum suspensorium medialis, ligamentum suspensorium lateralis, membrane fine, outer wall (Haerah, 2015).  Bagian interior ambing terdiri dari alveolus, ductus, gland cystern, puting (Taofik dan Depison, 2008).

2.4.3.   Pembentukan Susu dan Biosintesis Susu 
            Darah merupakan prekusor utama pembentukan susu (Ramli et al., 2009).  Suplai darah dan kandungan nutrien didalamnya sangat diperlukan untuk dimanfaatkan dalam proses sintesa susu (Lestari, 2006).
Karbohidrat mudah dicerna (BETN) dalam pakan di dalam rumen difermentasi menjadi asam lemak mudah menguap yaitu asam propionat yang selanjutnya mengalami proses glukoneogenesis di hati membentuk glukosa yang akan dibawa darah ke sel sekretoris kelenjar ambing untuk digunakan sebagai bahan baku sintesis laktosa susu (Yusuf, 2010).  Pembentukan propionat untuk glukoneogenesis dipengaruhi oleh ketersediaan karbohidrat pakan ternak ruminansia (Sukmawati et al., 2011).  Laktosa merupakan karbohidrat susu yang dibentuk di dalam aparatus golgi melalui proses glukoneogenesis dibawah kendali hormon galactocyltransferase (Reece et al., 2015).
            Asam asetat dan betahidroksi butirat merupakan bahan baku utama sintesis lemak susu yang merupakan hasil pencernaan serat kasar (SK) dalam rumen (Rangkuti, 2011).  Pakan di dalam rumen merupakan sumber asam asetat yang merupakan bahan baku pembentuk berbagai asam lemak dari lemak susu. Semakin banyak produksi asetat, maka semakin banyak sintesis asam lemak yang kemudian menyebabkan peningkatan kadar lemak susu (Zurriyati et al., 2011). Kandungan lemak susu dipengaruhi oleh konsumsi pakan serat kasar dan konsentrasi enzim xanthine oxidase yang dihasilkan oleh organel sel retikulum endoplasma (Utari et al., 2012).
Asam amino akan diserap di dalam usus kemudian dialirkan melalui darah dan akan masuk ke dalam sel sekretori ambing kemudian akan disintesis menjadi protein susu (Utari et al., 2012).  Peningkatan kadar nitrogen akan menguntungkan mikrobia rumen karena mikrobia rumen membutuhkan nitrogen untuk sintesis protein mikrobia (Bella et al., 2015).  Tahapan sintesis protein meliputi tiga proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein (Aisyah, 2011).

2.4.4.   Pengeluaran Susu
            Pengeluaran susu dimulai saat terdapat rangsangan berupa penglihatan, pendengaran ataupun tekanan misalnya puting dipegang oleh pemerah atau dihisap oleh anak sapi.  Rangsangan akan mencapai sistem saraf pusat dan sel-sel akan berkontraksi sebagai respon dari hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus melalui kelenjar pituitary yaitu oxytocin (Lestari, 2006).  Reaksi oksitosin akan menuju ambing dalam waktu beberapa waktu detik melalui sirkulasi darah dan akan merangsang jaringan kontraktil dalam kelenjar susu. Jaringan kontraktil ini berupa sel-sel mioepitel yang mengelilingi alveoli, ductus dan cistern.  Kontraksi ini akan mengeluarkan susu yang masih di dalam lumen-lumen alveolus dan ductus kecil untuk menuju ke ductus primer dan selanjutnya ke gland cistern. Selama proses pemerahan, sphincter muscle dari teat meatus akan berelaksasi selama jalanya proses pemerahan (Nelson, 2010).

2.5.      Susu Sapi Perah
            Susu sapi perah merupakan cairan yang berasal dari sekresi kelenjar ambing dari sapi perah yang mengandung gizi tinggi seperti laktosa, protein, lemak, vitamin dan mineral (Gustiani, 2009).   Kualitas fisik dan kimia sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi perah, pakan, sistem pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan periode laktasi (Utami et al., 2014).

2.5.1.   Syarat Susu Sapi Perah
Syarat susu sapi perah yang baik diantaranya bebas dari bakteri patogen, bebas dari zat-zat berbahaya, tidak tercampur atau tercemar bahan lain, memiliki komposisi dan yang normal seperti BJ 1,027, kadar lemak minimum 3%,kadar bahan kering tanpa lemak 7,8%, kadar protein minimum 2,8%, pH 6,3 – 6,8, negatif alkohol serta memiliki cita rasa yang normal (SNI, 2011).  Warna susu sapi segar tergolong normal apabila berwarna putih kekuningan
(Yuliati et al., 2015).  Susu segar memiliki bau normal yang khas serta tidak terdapat adanya endapan (Diastri dan Agustina, 2013).



2.5.2.   Komponen Susu 
Komponen susu meliputi air, lemak, protein, laktosa, Solid Non Fat (SNF) atau bahan kering tanpa lemak dan Total Solid (TSL) (Winarso, 2008)Kandungan air dalam susu sebesar 87,5%, tingginya kadar air dalam susu terjadi karena air merupakan medium dispersersi lemak dan komponen yang larut dalam susu.  Susu mengandung kadar lemak sebesar 3,7%, 4,9% laktosa dan 3,5% protein (Prasetya, 2012).  Komposisi air susu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, umur ternak, tingkat laktasi, infeksi pada ambing dan pakan (Saleh, 2004).

2.5.3.   Berat Jenis Susu
Berat jenis susu merupakan perbandingan antara berat dari sejumlah susu dengan berat air yang dapat menandakan keaslian susu tersebut.  Apabila berat jenis susu lebih besar dari berat jenis aslinya, kemungkinan susu tersebut ada penambahan suatu bahan padat dalam susu.  Berat jenis susu dipengaruhi oleh kandungan bahan kering di dalamnya sehingga kenaikan bahan kering akan meningkatkan berat jenis susu tersebut (Zurriyati et al., 2011).  Semakin encer susu karena kadar lemak, kadar protein dan nutrisi lainnya konsentrasinya rendah maka BJ susu juga akan turun (Aisyah, 2011).

2.6.      Recording
Recording adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pencatatan terhadap ternak secara individu yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangannya.  Pencatatan yang diperlukan meliputi identifikasi ternak, produksi susu, data reproduksi, dan kesehatan ternak (Nurul et al., 2013).  Tujuan utama dari pencatatan adalah untuk memberitahukan  suatu  informasi yang detail kepada pemilik ternak tentang individu sapi secara lengkap dan menyeluruh (Chrisenta, 2012). Tidak adanya recording yang baik dan jelas dapat mengakibatkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding), sehingga memunculkan cacat genetik (Hardjosubroto dalam Hakim et al., 2010).




BAB III

 

METODOLOGI

Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Anatomi Biologis Ambing dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 24 Maret 2016 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Ternak Potong dan Perah Divisi Perah dan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak, Berat Jenis Susu dan Recording pada hari Jumat dan Sabtu tanggal 25 dan 26 Maret 2016 pukul 17.00 WIB - selesai di Kandang Ternak Sapi Perah Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang.

3.1.      Materi 

            Materi yang digunakan pada praktikum Produksi Ternak Perah adalah sapi perah Peranakan Friesian Holstein, awetan ambing, susu segar dan susu UHT sebagai obyek pengamatan.  Alat yang digunakan untuk praktikum ini adalah nampan sebagai wadah awetan ambing, termometer klinis yang digunakan untuk mengukur suhu rektal sapi, hygrometer digunakan untuk mengukur suhu dan kelembapan udara makro dan mikro, black globe temperature digunakan untuk mengukur radiasi matahari, kalkulator digunakan untuk perhitungan rumus, gelas ukur 500 ml sebagai wadah penampung susu, laktodensimeter untuk mengetahui berat jenis susu terukur dan suhu pada susu, meteran digunakan untuk mengukur perkandangan dan alat tulis digunakan untuk mencatat hasil praktikum yang telah dilakukan.
3.2.      Metode
3.2.1.   Fisiologi Lingkungan
Parameter yang diamati dalam praktikum fisiologi lingkungan meliputi pengamatan suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari yang diamati setiap pukul 18.00, 24.00, 06.00, 12.00 dan 18.00 serta perkandangan.

3.2.1.1. Suhu Lingkungan

Suhu lingkungan meliputi suhu mikro dan makro.  Suhu mikro (dalam) kandang dengan meletakkan termometer di tengah kandang.  Suhu makro (luar) kandang dengan meletakkan termometer di luar lingkungan kandang lalu dilihat skala yang menunjukkan °C.

3.2.1.2. Kelembapan 

              Kelembapan lingkungan meliputi kelembapan mikro (dalam) kandang dengan meletakkan hygrometer di tengah kandang sedangkan kelembapan makro (luar) kandang dengan meletakkan hygrometer di luar lingkungan kandang lalu dilihat skala yang menunjukkan Relatif humidity.

3.2.1.3. Radiasi Matahari 

              Radiasi matahari diukur dengan menggunakan black globe temperature yang diletakkan di lingkungan makro kandang lalu membaca skala yang tertera pada alat tersebut dan menghitung hasilnya dengan rumus:
R = δT4

Keterangan:

R = Radiasi matahari (kCal/m2/jam)
δ = Konstanta Stefann Boltzman (4,903 x 10-8)
T = Suhu mutlak dalam Kelvin (273 + °C)

3.2.1.4. Perkandangan Sapi Perah
 
              Perkandangan sapi perah dilakukan dengan mengukur kandang yang meliputi panjang kandang (m), lebar kandang (m), tinggi atap (m), panjang palung (cm), lebar palung (cm), kedalaman palung (cm), tinggi palung (cm), panjang selokan (m), kedalaman selokan (cm), lebar stall (cm), panjang stall (cm), tinggi stall (cm) dan kamar susu (m2).

3.2.2.     Fisiologi Ternak
Metode yang dilakukan dalam praktikum fisiologi ternak meliputi pengamatan suhu rektal, denyut nadi, frekuesi nafas, konsumsi air minum serta frekuensi urinasi dan defekasi.
3.2.2.1. Suhu Rektal
              Suhu rektal diukur dengan memasukkan termometer klinis ke dalam rektum sapi lalu tunggu selama 1 menit atau hingga termometer menunjukkan angka konstan.




3.2.2.2. Denyut Nadi 

              Denyut nadi diukur dengan meletakkan stetoskop pada ketiak kaki bagian kiri depan atau pada pangkal ekor dan hitung frekuensi denyut nadi selama 1 menit.

3.2.2.3. Frekuensi Pernafasan
  
              Frekuensi nafas diukur dengan meletakkan telapak tangan di dekat lubang hidung lalu menghitung setiap hembusan nafas sapi selama 1 menit.
3.2.2.4. Konsumsi Air Minum   

              Konsumsi air minum diukur dengan menghitung frekuensi pengisian air minum selama 24 jam lalu kalikan dengan volume air dalam tempat air minum yaitu 1,3 liter.

3.2.2.5. Frekuensi urinasi

Frekuensi urinasi diukur dengan menghitung frekuensi pengeluaran urin selama 24 jam.

3.2.2.6. Frekuensi Defekasi

              Frekuensi defekasi diukur dengan menghitung frekuensi pengeluaran feses selama 24 jam.


3.2.3.     Anatomi Biologis Ambing
Mengamati preparat ambing secara langsung, mengetahui bagian-bagian eksterior dan interior ambing beserta fungsinya dan gambar pada catatan untuk pengamatan tersebut dan memfoto preparat ambing.  Menyimak dan berdiskusi mengenai biosintesis susu dan milk let down.

 3.2.4.    Pengukuran Berat Jenis Susu

        Berat jenis susu diukur dengan menuangkan 500 ml susu segar dan susu olahan (UHT) ke dalam tabung ukur lalu memasukkan laktodensimeter ke dalam tabung tersebut dengan sedikit diputar dan diamkan hingga tenang atau stabil. Membaca skala berat jenis terukur dan membaca suhu pada laktodensimeter.  Menghitung berat jenis susu sesungguhnya menggunakan rumus :
Berat Jenis = Berat Jenis Terukur – (27,5 – T) x 0,0002

 


Keterangan :
T : Suhu terukur



BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.      Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa.
Tabel 1.  Hasil Pengukuran Suhu, Kelembapan dan Radiasi Matahari
No.
Jam
Suhu
Kelembapan
Radiasi Matahari
Dalam
Luar
Dalam
Luar


----oC----
  ----%----
--kkal m-2 jam-1--
1.
18.00
27
27
78
79
397,143
2.
00.00
27
26
80
80
391,874
3.
06.00
26
26
79
82
391,874
4.
12.00
35
39
42
22
464,60
5.
18.00
29
29
71
72
407,84

Rerata
28,8
29,4
70
67
410,66
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
 
4.1.1.   Suhu Lingkungan
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa suhu rata-rata di dalam kandang sapi perah pada pagi, siang, dan malam tidak dalam keadaan normal yaitu 28,8°C, begitu juga pada suhu luar kandang yang tidak dalam keadaan normal yaitu 29,4°C.  Suhu normal rata-rata di kandang yaitu 18 – 21°C.  Suhu yang tinggi akan mempengaruhi produksi, tingkah laku, dan juga metabolisme pada sapi perah.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa suhu merupakan faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah karena dapat menyebabkan perubahan pada semua keseimbangan yaitu keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Utomo et al., (2009) menambahkan bahwa suhu lingkungan yang tinggi dapat menambah cekaman panas pada ternak selain panas yang berasal dari proses metabolisme.  Hal ini sesuai dengan pendapat
Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa apabila sapi PFH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi, maka sapi-sapi tersebut akan mengalami cekaman panas terus menerus yang berakibat pada menurunnya produktivitas
.  Menurut Siregar (1993) daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21° - 25°C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut.

4.1.2.   Kelembapan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan kelembapan tertinggi dalam kandang terjadi pada pukul 24.00 yang mencapai 80%, sedangkan pada luar kandang terjadi pada pukul 06.00 yang mencapai 82%.  Kelembapan terendah terjadi pada pukul 12.00 baik dalam maupun luar kandang yaitu 42% dan 22%.  Kelembapan rata – rata dalam kandang yaitu 70% sedangkan diluar kandang yaitu 67%. Kelembapan tersebut masih dalam batas normal. Kelembapan yang di toleransi oleh ternak bekisar antara 60 – 70%.  Kelembapan yang tidak sesuai akan menyebabkan metabolisme dan produksi ternak terganggu.  Hal ini sesuai pendapat Sudono et al. (2003) bahwa sapi perah membutuhkan kelembapan ideal antara 60 - 70%.  Hal ini sesuai dengan pendapat Aisyah (2011) bahwa produktifitas sapi perah dipengaruhi oleh kelembapan udara yang akan mempengaruhi fisiologisnya sehingga produktifitasnya terganggu.


4.1.3.   Radiasi matahari 
            Berdasarkan hasil praktikum rata-rata radiasi matahari pada kandang adalah 410,68 kCal/m2/jam.  Nilai radiasi matahari ini tergolong sedang namun belum berpotensi menimbulkan cekaman panas terhadap sapi perah PFH.  Menurut Yani dan Purwanto (2006) bahwa sapi PFH akan mengalami cekaman panas maksimal pada radiasi matahari yang mencapai 480 kCal/m2/jam.
 Suherman dan Purwanto (2015) menambahkan bahwa perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan dengan pengeluaran energi radiasi matahari berkisar antara 210,8 - 459,9 kCal/m2/jam.  
Nilai radiasi matahari tergolong sedang namun suhu dalam kandang tergolong tinggi.  Kondisi ini dikarenakan sumber panas tidak hanya berasal dari sinar matahari tetapi juga dari metabolisme tubuh sapi PFH.  Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman.  Menurut Suherman dan Purwanto (2015) bahwa kondisi suhu tubuh ternak yang mampu mempertahankan panas dari radiasi matahari dengan melakukan respirasi.  Suhu udara yang tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan.
                                                                                                           


4.1.4.   Perkandangan
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kandang
Parameter
                    Ukuran
Panjang kandang (m)
Lebar kandang (m)
Tinggi atap (m)
Panjang palung (m)
Lebar palung (cm)
Kedalaman palung (cm)
Tinggi palung (cm)
Panjang selokan (m)
Lebar selokan (cm)
Kedalaman selokan (cm)
Lebar stall (m)
Panjang stall (m)
Tinggi stall  (m)
Kamar susu (m2)
12,49
8,31
4,09
9,08
54
48
64
9,38
26
5
1,57
2,25
1,25
10,66
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016. 

Kandang berfungsi sebagai tempat tinggal untuk ternak selama pemeliharaan dan untuk melindungi ternak dari gangguan cuaca.  Kandang yang baik untuk sapi perah yaitu kandang yang nyaman, bersih dan tidak terlalu sempit.   Ukuran kandang sapi perah di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro sudah cukup baik dan sesuai standar dengan panjang 12,49 m dan lebar 8,31 m.  Hal ini sesuai dengan pendapat  Yani et al. (2007) yang menyatakan bahwa kandang sapi perah memiliki standar ukuran panjang × lebar sebesar ± 13 × 6,3 m.  Kandang sapi perah tersebut  memiliki lantai kandang yang terbuat dari semen beton serta memiliki sirkulasi udara yang baik karena terdapat ventilasi dan atap kandang menggunakan bahan asbes sehingga dapat mengurangi cekaman panas dari lingkungan.  Menurut pendapat Yani et al. (2005) pembuatan kandang harus memperhatikan bahan bangunan yang digunakan, tinggi, luas, bahan atap dan bukaan ventilasi agar sapi merasa nyaman.  
Tipe kandang sapi perah di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro yaitu konvensional dengan posisi penempatan ternak saling membelakangi atau disebut tail to tail.  Kelebihan tipe kandang tail to tail yaitu dapat dengan mudah mengontrol ternak sedangkan kekurangannya yaitu pergerakan atau exercise ternak terbatas. Santosa et al. (2012) berpendapat bahwa tipe kandang tail to tail dapat mengurangi penularan penyakit dan memudahkan saat sanitasi kandang.  Siregar (1993) berpendapat bahwa tempat pakan atau palung pakan pada sapi yang ideal yaitu 90 x 41 x 35 cm. Palung pakan yang baik dibuat dari beton dengan bentuk cekung dan tidak terlalu dalam agar ternak dapat menjangkau pakan, selain itu bahan untuk pembuatan tempat pakan juga dapat dibuat dari papan kayu sedangkan pemberian konsentrat dapat diletakkan pada ember, tempat minum memiliki ukuran yang lebih kecil dari ember dengan kapasitas volume air kurang lebih satu liter dan dapat dijangkau oleh mulut ternak.  Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2003) bahwa palung pakan dan tempat minum dapat dibuat dari tembok beton yang bagian dasarnya dibuat cekung dengan lubang pembuangan air pada bagian bawah atau tempat pakan dapat juga dibuat dari bahan papan atau kayu dan tempat minum menggunakan ember
4.2. Fisiologi Ternak
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadi dan Frekuensi Nafas
No.
Jam
Suhu Tubuh
Denyut Nadi
Frekuensi Nafas


----oC----
-----kali/menit-----
1.
18.00
38,6
67
19
2.
00.00
38,6
65
56
3.
06.00
38,2
61
40
4.
12.00
38,8
65
70
5.
18.00
38,8
60
55

Rerata
38,6
64
48
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.  

4.2.1.   Suhu Tubuh

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa rata-rata suhu tubuh sapi perah yaitu 38,6°C.  Hal ini menunjukan bahwa ternak dalam kondisi normal yang menandakan bahwa ternak tersebut dalam keadaan nyaman atau homeostasis.  Suhu tubuh ternak dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan aktivitas ternak, semakin meningkatnya suhu lingkungan maka suhu tubuh ternak semakin meningkat karena ternak akan berusaha menstabilkan suhu tubuhnya terhadap suhu lingkungan agar panas tubuh yang dikeluarkan sebanding dengan panas tubuh yang diterima. Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman dan Purwanto (2015) bahwa suhu rektal yang normal pada sapi perah berkisar antara 38,6 - 39,2°C.  Utomo et al. (2009) menambahkan bahwa suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh tingkat laku, konsumsi pakan dan suhu lingkungan.



4.2.2.   Denyut Nadi
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil frekuensi denyut nadi rata-rata sebanyak 64 kali/menit.  Denyut nadi pada sapi perah ini dalam kisaran normal.  Denyut nadi ternak tetap normal karena ternak hanya membuang panasnya melalui nafas dengan cara menaikkan frekuensi nafas dan mengurangi aktifitasnya.  Hal ini sesuai pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa denyut jantung sapi FH yang sehat pada daerah nyaman adalah 60  –  70 kali/menit.  Pengaruh suhu lingkungan dan kelembapan udara dapat menyebabkan perubahan kecepatan denyut nadi sapi perah.  Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman et al. (2013) yang menyatakan bahwa semakin meningkat kelembapan udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu yang tinggi, maka frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi yang semakin meningkat.
4.2.3.   Frekuensi Nafas

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa rerata frekuensi nafas sapi perah adalah 48 kali/menit.  Frekuensi nafas tersebut lebih tinggi dari kisaran normal sehingga ternak diindikasikan terkena stress.  Frekuensi nafas yang normal pada sapi perah tidak lebih dari 30 kali/menit.  Tingginya frekuensi nafas dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang tinggi sehingga ternak mengalami cekaman panas dan mengeluarkan nafas yang berlebih agar tubuhnya tetap homeostasis.  Frekuensi nafas yang tinggi namun denyut nadi dan suhu tubuh yang normal dimungkinkan karena adanya gangguan dari peternak dan adanya aktifitas metabolisme dari ternak itu sendiri.  Hal ini sesuai dengan pendapat  Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa pada suhu nyaman frekuensi nafas yang normal pada sapi perah berkisar antara 10 – 30 kali/menit dan ditambahkan oleh pendapat Suherman et al. (2013) yang menyatakan bahwa apabila suhu udara meningkat diatas suhu thermonetral, sapi akan mulai menderita suhu kritis atau dimulainya menderita cekaman, sehingga mekanisme termoregulasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung dan penguapan air melalui kulit.

4.2.4.   Konsumsi Air Minum

Tabel 4. Hasil Pengukuran Konsumsi Air Minum

Pengisian ke-
Volume
Waktu Pengisian
----------- L ----------
1
1,3
18.00
2
1,3
23.12
3
1,3
05.51
4
1,3
08.54
5
1,3
09.44
6
1,3
09.50
7
1,3
09.56
8
1,3
10.52
9
1,3
10.56
10
1,3
14.05
11
1,3
14.17
12
1,3
16.43
13
1,3
17.13
14
1,3
17.19
15
1,3
17.24
16
1,3
17.56
Total
20,8

Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa sapi PFH mengkonsumsi air minum sebanyak 20,8 liter selama 24 jam.  Sapi perah PFH rata-rata mengkonsumsi air minum sebanyak 40 liter perhari.  Banyak hal yang dapat pengaruhi konsumsi air minum ternak antara lain bobot badan dan juga suhu lingkungan ternak. Konsumsi air minum ternak tergolong rendah dan belum mengalami peningkatan konsumsi air minum meskipun suhu lingkungan tinggi (Tabel 1) berarti pengaruh dari bobot badannya yang kecil.  Rendahnya konsumsi air minum dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kandungan air dalam pakan yang cukup tinggi sehingga sapi mengkonsumsi air dalam jumlah sedikit.  Menurut Utomo et al. (2009) bahwa konsumsi air minum pada ternak meningkat akibat terjadinya cekaman panas pada tubuh ternak sapi perah.  
Cekaman panas terjadi karena ternak tersebut mengalami thermoregulasi melalui frekuensi pernafasan.  Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa sapi mengkonsumsi air minum sebanyak 37 – 44 liter per hari (10,58 – 12,76 % dari bobot badan).  Hal ini ditambahkan Suherman dan Purwanto (2015) bahwa konsumsi air minum yang meningkat dipengaruhi oleh cekaman panas pada sapi perah untuk menurunkan laju metabolisme dengan menekan sekresi hormon tiroksin serta mengeluarkan heat shock proteins yang memiliki peranan penting untuk merespon stress panas.



4.2.5.   Frekuensi Urinasi dan Defekasi

Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi
No.
Waktu Urinasi
Waktu Defekasi
1
18.37
18.46
2.
19.40
18.50
3.
22.40
19.44
4.
02.40
22.36
5.
04.57
01.20
6.
06.14
02.40
7.
08.12
04.49
8.
11.39
04.54
9.
13.43
06.01
10.
15.02
08.04
11.
16.25
09.19
12.
17.32
09.54
13.
10.44
14.
11.54
15.
13.38
16.
14.59
17.
16.20
18.
17.00
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.

Berdasarkan hasil pengamatan selama 24 jam dapat diketahui bahwa frekuensi urinasi pada sapi perah yang diamati sebanyak 12 kali dalam sehari.  Hasil yang diperoleh diatas frekuensi normal pada sapi perah. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2010) bahwa frekuensi urinasi dalam kondisi normal pada sapi berkisar antara 5 sampai 7 kali sebanyak 6 sampai 12 liter dalam sehari.  Perbedaan frekuensi urinasi ini dapat disebabkan karena sapi berusaha untuk melepaskan panas dari tubuhnya melalui urin agar menjaga keseimbangan homeostatisnya.  Purwanto et al. (1995) menambahkan bahwa pelepasan panas sapi perah dapat dilakukan melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan dan sebagian melalui feses dan urin.
Frekuensi defekasi yang diperoleh selama 24 jam dicapai sebanyak 18 kali dalam sehari.  Hasil ini juga diatas dari frekuensi defekasi normal sapi perah.  Hal ini sesuai dengan pendapat Soetarno (2003) bahwa sapi dapat mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai 8 kali/hari dan mengeluarkan 8% dari berat badannya. Defekasi merupakan suatu usaha ternak untuk menyeimbangkan kondisi tubuhnya dengan cara mengeluarkan feses. Menurut Blakely dan Bade (1995) feses merupakan hasil sisa proses pencernaan setelah pakan yang masuk ke dalam sistem pencernaan yang mengalami degradasi dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari dalam tubuh.  Siregar (1993) berpendapat bahwa proses pembentukan  feses pada sapi perah dimulai dari masuknya bahan pakan melalui mulut, mengalami proses pencernaan dalam perut sampai keluarnya feses dari anus yang memerlukan waktu 5 sampai 7 jam.
4.3.      Perkembangan Ambing
            Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa perkembangan ambing yaitu dimulai dari fase pre natal, natal sampai pubertas, fase post pubertas, fase kebuntingan dan laktasi.  Hal ini sesuai dengan pendapat Lestari (2006) yang menyatakan bahwa menjadi empat fase, yaitu perkembangan embrionik, perkembangan fetus, perkembangan pada periode pertumbuhan postnatal dan perkembangan selama kebuntingan.  Sutopo (2001) menambahkan bahwa perkembangan ambing mengalami pertumbuhan pesat pada periode kebuntingan karena corpus luteum berperan aktif untuk menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan estrogen dan laktogen plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem saluran kelenjar ambing. 

4.4.      Anatomi Biologis Ambing
Ambing merupakan kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu kecuali pada putingnya yang terdapat pada ternak mamalia dan berfungsi untuk menghasilkan susu. Ambing terdiri dari bagian eksterior dan interior yang dibagi menjadi 4 kuartir.  Hal ini sesuai dengan pendapat Recee et al. (2015) yang menyatakan bahwa ambing memiliki dua bagian yaitu bagian eksterior dan interior.  Rahayu (2015) menambahkan bahwa ambing terdiri dari 4 kuartir yang terpisah yaitu depan belakang serta kanan dan kiri.

Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior Ambing




1


2



3

4
Keterangan :

1. Medial suspensory ligament
2.  Outer wall
3.  Membrane fine
4.  Lateral suspensory ligament







Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
Bagian eksterior ambing terdiri dari outer wall berfungsi sebagai pelindung ambing, ligamentum suspensorium lateralis berfungsi sebagai alat untuk melekatnya ambing dengan abdomen, membrane fine berfungsi sebagai pemisah antara kuartir depan dengan kuartir belakang, ligamentum suspensorium medialis yang berfungsi sebagai pemisah antara kuartir kanan dan kiri.   Hal ini sesuai dengan pendapat Haerah (2015) yang menyatakan bahwa bagian eksterior ambing meliputi ligamentum suspensorium medialis, ligamentum suspensorium lateralis, membrane fine, outer wall.  Recee et al. (2015) menambahkan bahwa pada bagian luar ambing terdapat dua ligamen yaitu ligamentum suspensorial medialis yang berfungsi sebagai penunjang dan pemisah ambing bagian kanan dan kiri serta ligamentum suspensorial lateral yang berfungsi melekatkan ambing pada abdomen. Menurut Wing (1963) membrane fine merupakan pemisah antara ambing bagian kuartir depan dan belakang, sedangkan outer wall memiliki fungsi untuk melindungi ambing.

Ilustrasi 3. Bagian-bagian Interior Ambing



1

2

3

4

5

6

7
Keterangan :
1. Alveoli
2. Lobulus
3. Lobus
4. Major duct tersier
5. Gland cistern
6. Teat cistern
7. Streak canal





Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
Bagian interior terdiri dari lobules containing alveol yang berfungsi sebagai penghasil susu, lumen yang berfungsi sebagai tempat pencampuran komponen susu, milk duct berfungsi sebagai saluran untuk mentransporkan susu menuju gland cystern, gland cystern berfungsi sebagai penampungan susu saat akan keluar, annular fold merupakan tempat otot springter.  Otot springter dapat membuka dan menutup sehingga berfungsi untuk mencegah masuknya bakteri dari luar, teat meatus berfungsi sebagai transport susu menuju streak canal, streak canal berfungsi sebagai tempat keluarnya susu.  Hal ini sesuai dengan pendapat Taofik dan Depison (2008) yang menyatakan bahwa ambing bagian dalam terdapat organ-organ diantaranya alveolus, milk ductus, gland cystern, dan puting.
Alveolus merupakan jaringan sekretorik di dalam ambing dan tersusun atas sel-sel epitel yang mengelilingi sebuah rongga yang disebut rongga.  Hal ini sesuai dengan pendapat Taofik dan Depison (2008) bahwa alveolus merupakan sel-sel sekretorik di dalam ambing.  Lumen alveoli merupakan rongga yang akan menampung susu dari sel-sel epitel. Lobulus merupakan sekelompok alveloli yang mempunyai duktus dan dibungkus oleh kapsula jaringan ikat.  Ductus merupakan saluran yang akan mengalirkan susu dari lobul menuju gland cistern dan ductus memiliki sel-sel epitel untuk mengadakan sekresi susu.  Hal ini sesuai dengan pendapat Wikantadi (1978) bahwa ductus yang memiliki satu lapis sel-sel epitel yang mampu mensekresi susu.  
Susu yang sudah disekresikan oleh alveolus kemudian disalurkan melalui ductus lalu ditampung oleh gland cistern yang merupakan tempat penampungan sementara susu yang sudah disekresi.  Menurut Gillespie dan Flanders (2009) gland cistern merupakan muara yang memiliki fungsi untuk menampung sementara susu yang sudah disekresi sebelum disalurkan lewat ke teat cistern.  Setelah terjadi tekanan pada gland cistern, susu akan mengalir melalui teat cistern dan keluar melalui lubang puting yang disebut dengan teat meatus atau streak canal.  Hal ini ditambahkan dengan pendapat Nelson (2010) bahwa puting berada di ujung setiap kuartal ambing yang berfungsi sebagai katup untuk membebaskan susu dan untuk menyusui anak sapi.
Pembentukan susu terjadi secara berkelanjutan dengan melibatkan darah `sebagai prekusor pembuatan susu.  Darah tersebut mengandung banyak nutrisi yang  berasal dari pakan ternak, sehingga susu yang disekresikan pun mengandung komposisi nutrisi seperti air dan total solid yang meliputi lemak, protein, laktosa, vitamin dan mineral.  Komponen-komponen tersebut terbentuk dengan bantuan mikroba dalam saluran pencernaan ruminansia.  Hal ini sesuai dengan pendapat Ramli et al. (2009) yang menyatakan bahwa  darah merupakan prekusor utama pembentukan susu.  Lestari (2006) menambahkan bahwa suplai darah dan kandungan nutrien didalamnya sangat diperlukan untuk dimanfaatkan dalam proses sintesa susu.
            Biosintesis susu terjadi melalui 3 proses yaitu sintesis laktosa, sintesis lemak dan sintesis protein.  Sintesis laktosa diawali dari pakan yang berserat kemudian akan masuk kedalam rumen menjadi VFA dalam bentuk propionat.  Propionat tersebut akan masuk ke hati mengalami proses glukoneogenesis, selanjutnya dibawa oleh darah menuju sel-sel sekretori untuk membentuk laktosa susu.   Laktosa merupakan disakarida dari glukosa dan galaktosa yang dibentuk oleh enzim laktose sintetase.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yusuf (2010) yang menyatakan bahwa serat kasar akan difermentasi di dalam rumen menjadi asam lemak mudah menguap yaitu asam propionat yang selanjutnya mengalami proses glukoneogenesis di hati sehingga terbentuk glukosa dan galaktosa yang akan dibawa darah menuju sel sekretoris kelenjar ambing yaitu aparatus golgi untuk digunakan sebagai bahan baku sintesis laktosa susu.  Menurut Reece et al. (2015) laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat dalam susu yang dibentuk di dalam hati melalui proses glukoneogenesis dibawah kendali hormon galactocyltransferase.
            Sintesis lemak diawali ketika pakan masuk ke rumen menjadi VFA dalam bentuk asetat dan butirat.  Asetat masuk ke usus halus menjadi asam lemak dan butirat menuju dinding rumen menjadi BHBA (Beta Hydroxy Butyric Acid) masuk ke usus halus menjadi asam lemak. Asam-asam lemak dibawa oleh darah menuju sel-sel sekretori  sitoplasma dan diubah menjadi lemak susu.  Tinggi rendahnya komponen lemak susu tergantung dari banyak sedikitnya jumlah serat kasar yang dikonsumsi ternak.  Hal ini sesuai pendapat Rangkuti (2011) yang menyatakan bahwa asam asetat dan butihidroksi butirat merupakan bahan baku utama sintesis lemak susu yang merupakan hasil pencernaan SK dalam rumen dan ditambahkan oleh  pendapat Utari et al. (2012) yang menyatakan bahwa kadar lemak susu dipengaruhi oleh konsumsi pakan serat kasar dan konsesntrasi enzim xanthine oxidase yang dihasilkan oleh organel sel retikulum endoplasma.
           
Sintesis protein diawali dari pakan yang mengandung protein kasar kemudian masuk ke rumen terbagi menjadi RDP (Rumen Degratable Protein)  dan RUP (Rumen Undegratable Protein).   Menurut Suryani et al. (2015) RDP dan RUP penting untuk memacu sintesis mikroba dalam rumen. RDP berupa NH3 lalu dicerna oleh mikroba protein menjadi asam amino dan sisanya dibawa ke ginjal menghasilkan urea melalui proses urinasi.  RUP berupa protein by pass menuju usus halus dan menghasilkan asam amino. Asam amino dari RDP dan RUP akan menuju sel sekretori ambing melalui proses replikasi, transkripsi dan translasi untuk menghasilkan protein susu. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan Aisyah (2011) bahwa tahapan sintesis protein meliputi tiga proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein.  Menurut Utari et al. (2012) bahwa asam amino akan diserap di dalam usus kemudian dialirkan melalui darah dan akan masuk ke dalam sel sekretori ambing kemudian akan disintesis menjadi protein susu.
            Proses keluarnya air susu atau milk let down dimulai dari rangsangan berupa penglihatan, pendengaran dan rabaan.  Rangsangan penglihatan terjadi saat sapi melihat peternak yang akan memerah, rangsangan pendengaran terjadi saat sapi mendengar aktifitas peternak saat akan memerah atau suara pedet yang ingin menyusu dan rangsangan rabaan berupa tangan yang akan memerah atau mulut anak sapi yang ingin menyusui kemudian rangsangan-rangsangan tersebut akan berjalan melalui sumsum tulang belakang dan diteruskan ke otak.  Hal ini sesuai dengan pendapat Wikantadi (1978) yang menyatakan bahwa stimulan menyebabkan sapi merasa akan diperah dan menimbulkan implus yang diteruskan melalui nervus inguinalis ke corda spinalis dan otak.
Otak yang mendapatkan rangsang melepaskan hormone oxytocin yang berasal dari kelenjar pituitari.  Oxytocin tersebut kemudian berjalan menuju  jantung melalui pembuluh darah vena, di jantung oxytocin kemudian dipompa ke seluruh tubuh termasuk ambing melalui arteri.  Oxytocin yang masuk ke ambing menyebabkan sel-sel mioepitel berkontraksi sehingga menyebabkan keluarnya air susu.  Otak melepaskan oxytocin dari lobulus posterior dari kelenjar pituitaria. Oxytocin yang terbebaskan masuk ke cabang dari vena jungularis dan berjalan ke jantung kemudian ditranspor ke seluruh bagian tubuh oleh darah arteriil.  Oxytocin mencapai kelenjar susu setelah melalui aorta dan masuk ke ambing melalui arteri pudenda externa, di dalam ambing oxytocin menyebabkan sel-sel myoepithel berkontraksi, hal ini menyebabkan terperasnya air dari alveoli keluar dari lumen.
Ilustrasi 4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Positif



Rangsangan
 


Impuls


Spinalis Cord

 

Hipotalamus


Oxytocin


Vena jugularis


Jantung


Aorta


Arteri pudenda interna            Arteri pudenda eksterna


Sel Sekretoris

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.

Ilustrasi 5. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Negatif



Rangsangan
 


Impuls


Spinalis Cord

 

Hipotalamus


Hipofisa


Jantung


Aorta


Arteri pudenda interna            Arteri pudenda eksterna


Sel sekretoris

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.


4.4.      Berat Jenis Susu
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan Berat Jenis (BJ) susu pada susu segar lebih rendah dibandingkan dengan susu olahan (Ultra Milk) yaitu 1,0259 pada susu segar, 1,0267 pada susu olahan.  Hal ini terjadi karena susu olahan sudah mengalami proses pendinginan yang menyebabkan lemak pada susu mengendap.  Standar berat jenis susu menurut SNI (2011) yaitu 1,027 – 1,028. Pengukuran berat jenis susu menggunakan alat yang dinamakan lactodensimeter. Berat jenis susu berpengaruh terhadap komponen susu, semakin tinggi berat jenis maka akan semakin meningkatkan komponen-komponen susu.  Semakin tinggi berat jenis susu maka akan semakin tinggi pula komponen lemak susu yang diikuti dengan kenailkan kandungan bahan padatan bukan lemak (SNF).  Hal ini sesuai dengan pendapat Zurriyati et al. (2011) bahwa berat jenis susu dipengaruhi oleh kandungan bahan kering di dalamnya sehingga kenaikan bahan kering akan meningkatkan berat jenis susu.  Hal ini sesuai pendapat Aisyah (2011) bahwa semakin encer susu karena kadar lemak, kadar protein dan nutrisi lainnya konsentrasinya rendah maka BJ susu juga akan turun.

4.5.      Recording
Berdasarkan hasil praktikum didapat data bahwa ternak sapi PFH betina yang diamati telah melahirkan anaknya pada tanggal 4 bulan November 2015, telah diinseminasi dengan nomor straw 38988 dan nomor inseminator 7248 pada tanggal 21 April 2015, serta memiliki kondisi (kesehatan) yang cukup baik. Recording dilakukan untuk mencatat aspek reproduksi (perkawinan), identitas ternak, masa produksi dan kesehatan ternak, namun kondisi peternakan sapi PFH di lokasi kandang perah Fakultas Peternkan dan Pertanian belum memenuhi standar dari data recording, seharusnya pencatatan recording yang baik meliputi identitas ternak, produksi susu, data reproduksi dan kesehatan ternak.  Hal ini sesuai dengan pendapat Nurul et al. (2013) yang menyatakan bahwa Recording adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pencatatan terhadap ternak secara individu yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangannya, pencatatan yang diperlukan meliputi identitas ternak, produksi susu, data reproduksi dan kesehatan ternak.  
Kondisi  recording sapi di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro kurang lengkap.  Ketiadaan data produksi, kesehatan dan identitas ternak dapat menyebabkan tidak lengkapnya data recording, sehingga tidak dapat  mengetahui produksi yang telah dihasilkan, tidak dapat mengetahui riwayat penyakit pada ternak dan dapat memungkinkan terjadinya inbreeding serta rendahnya penanganan terhadap ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hakim et al. (2010) bahwa tidak adanya recording yang baik dan jelas dapat mengakibatkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding), sehingga memunculkan cacat genetik. Dampak buruk tersebut dapat diketahui bahwa  recording sangat perlu dilakukan karena dapat memberikan manfaat bagi usaha peternakan untuk mengetahui semua informasi yang berkaitan dengan ternak yang dipelihara.  Chrisenta (2012) menambahkan bahwa tujuan utama dari pencatatan (recording)  adalah untuk memberitahukan  suatu  informasi yang detail kepada pemilik ternak tentang individu sapi secara lengkap dan menyeluruh.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN
5.1.        Simpulan
              pada praktikum dapat disimpulkan bahwa organ interior pada ambing terdiri dari alveolus, lumen, major duct tersier, gland sistern, teat sistern dan streak canal.  Organ eksterior ambing terdiri dari lateral suspensory ligament, medial suspensory ligament, outer wall dan membrane fine.  Darah merupakan prekursor utama susu yang mengandung nutrien penting seperti protein, laktosa dan lemak. Air susu akan keluar apabila terdapat rangsangan dari luar seperti tekanan pemerahan, pendengaran dan penglihatan.  Fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak pada sapi perah sudah cukup nyaman bagi ternak namun hanya mengalami sedikit stress dilihat dari frekuensi nafasnya yang tinggi.  Berat jenis susu segar lebih rendah dibandingkan susu UHT. Recording pada ternak sangat bermanfaat bagi peternak karena dapat mengetahui dan mengidentifikasi ternak yang dipeliharanya.
5.2.        Saran
              Saran untuk praktikum Produksi Ternak Perah adalah lebih berhati-hati ketika melakukan handling pada sapi perah ketika akan melakukan pengukuran fisiologi sapi perah seperti frekuensi pernafasan agar tidak menimbulkan stress pada ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. 2011. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian aloe barbadensis miller. J. Gamma. 7 (1) : 50 - 60.

Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Anderson, B.E. 1970. Temperatur Regulation and Environmental Physiological, in Duke Physiology of Domestic Animal.8th edition. Cornell University, London.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI. 3141. 1. 2011 tentang persyaratan mutu, pengambilan contoh, pengujian, pengemasan dan pelabelan susu sapi segar.

Bella, P., B.W.H.E. Prasetiyono dan A. Muktiani. Pengaruh pemberian total mixed ration berbasis jerami jagung teramoniasi terhadap pemanfaatan nitrogen pada sapi perah laktasi. J. Agromedia. 33 (1): 97 – 103.

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1995. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Chrisenta, B. B. 2012. Kajian Penampilan Reproduksi Sapi Brahman cross Program Aksi Perbibitan di Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Diasti, I. G. A. F dan K. K. Agustina. 2013. Uji organoleptik dan tingkat keasaman susu sapi kemasan yang dijual di pasar tradisional kota Denpasar. J. Indonesia Medicus Veterinus 2 (4): 453 – 460.

Gillespie, J. and Flanders, F. 2009. Modern Livestock and Poultry Production. Nelson Education, Canada.
Gustiani, E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (3): 96-100.

Haerah, D. 2015. Deteksi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).
Hakim, L., G. Ciptadi dan V.M.A. Nurgiatiningsih. 2010. Model recording data performans sapi potong lokal di Indonesia. J. Ternak Tropika 11 (2): 6-17.
Lestari T.D. 2006. Laktasi pada Sapi Perah sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. (Skripsi).
Nelson, M.G.  2010.  The Complete Guide to Smallscale Farming: EverythingYou Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,and Other Small Animals.  Atlantic Publishing Company, Florida.
Nurul, P., A.T.A. Sudewo dan S.A. Santosa. 2013. Penggunaan Taksiran Produksi Susu dengan Test Interval Method (TIM) pada Evaluasi Mutu Genetik Sapi Perah di BBPTU Sapi Perah Baturraden. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Skripsi).
Prasetya, H.  2012.  Prospek Cerah Beternak Sapi PerahPustaka Baru Press, Yogyakarta.
Putra, A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus Pemerahan Susu Sapi Moeria Kudus Jawa Tengah). Universitas Diponegoro, Semarang. Tesis.
Purwanto, B.P., A.P. Santoso dan A. Murfi. 1995. Fisiologi Lingkungan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rahayu. S. 2015. Deteksi staphylococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).

Ramli, N., M. Ridla, T. Toharmat dan L. Abdulla. 2009. Produksi dan kualitas susu sapi perah dengan pakan silase ransum komplit berbasis sumber serat sampah sayuran pilihan. J.Indon.Trop.Anim.Agric. 34 (1): 36 – 41.

Rangkuti, J.H. 2011. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Reece, W.O., H.H. Erickson, J.P. Goff dan E.E. Uemura. 2015. Duke’s Physiology of Domestic Animal. Willwy Blackwell, USA.

Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Universitas Sulawesi Utara, Sulawesi Utara.
Santosa, K., Warsito dan A. Andoko. 2012. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, S.B. 1993. Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha Sapi Perah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, S.B. 2003. Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha Sapi Perah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soetarno, T. 2003. Manajemen Ternak Perah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudono A. Rosidana F. R. dan Setiawan B. S. 2003. Berternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Suherman, D. dan B.P. Purwanto. 2015. Respon fisiologis sapi perah dara Friesh Holland yang diberi konsentrat dengan tingkat energi berbeda. J. Sain Peternakan Indonesia. 10 (1): 13-21.

Suherman, D., B.P. Purwanto, W. Manalu dan I.G. Permana. 2013. Simulasi artificial neural network untuk menentukan suhu kritis pada Sapi Fries Holland berdasarkan respon fisiologis. JITV. 18 (1): 70-80.
Suherman, D., B.P. Purwanto, W. Manalu dan I.G. Permana. 2013. Model Penentuan suhu kritis pada sapi perah berdasarkan kemampuan produksi dan manajemen pakan. J. Sain Peternakan Indonesia. 8 (2): 121 – 138.

Sukmawati, F.K. 2010. Petunjuk Praktis Perkandangan Sapi. Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Besar dan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Mataram, Mataram.
Sukmawati, N.M., I.G. Permana, A. Thalib dan S. Kompiang. 2011. Pengaruh complete rumen modifier (CRM) dan calliandra calothyrus terhadap produktivitas dan gas metan enterik pada kambing perah PE. JITV. 16 (3): 173-18. 

Suryani, N.N., I.G. Mahardika, S. Putra dan N. Sunjaya. 2015. Pemberian gamal tambahan dalam ransum meningkatkan neraca nitogen dan populasi mikroba proteolitik rumen Sapi Bali. J. Veteriner 16 (1): 117 – 123.

Sutopo. 2001. Pengaruh Pemberian PMSG terhadap Pertumbuhan Ambing Ban Prqeiiukse Susu Pada Sapi Perah. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis).

Taofik. A. dan Depison. 2008. Hubungan antara lingkar perut dan volume ambing dengan kemampuan produksi susu kambing Peranakan Ettawa. J. Ilmiah ilmu-ilmu Peternakan. 11 (2): 59-74.

Utami, K. B., L. E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah PFH (studi kasus pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Magelang). J. Ilmu-ilmu Peternakan. 24 (2): 58-66.

Utari, F.D., B.W.H.E. Prasetiyono dan A. Muktiani. 2012.  Kualitas susu kambing perah peranakan ettawa yang diberi suplementasi protein terproteksi dalam wafer pakan komplit berbasis limbah agroindustri. J.  Animal Agriculture. 1 (1): 427-441.

Utomo, B., D.P. Miranti dan G.C. Intan. 2009. Kajian termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal : 263-268.
Utomo, B. dan D.P. Miranti. 2010. Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapat perbaikan manajemen pemeliharaan. J. Cakra Tani. 25 (1): 21-25.

Wikantadi, B. 1978. Biologi Laktasi. Bagian Ternak Perah, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Winarso, D.  2008.  Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan.  J.  Sain Vet.  26 (2): 58-65. 

Wing, J.M. 1963. Dairy Cattle Management Principles and Applications. Reinhold Publishing Corporation, New York.

Yani, A., H. Suhardiyanto dan B.P. Purwanto. 2005. Analisis dan stimulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan compulational fluid dynamics (CFD). Media Peternakan. 30 (3) : 218-228.
Yani, A. dan B.P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. Media Peternakan. 29 (1) : 35-46.
Yani, A., Suhardiyanto, R. Hasbullah, dan B. P. Purwanto. 2007. Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan computational fluid dynamics (CFD). Media Peternakan 30: 218-228.
Yuliati, F. N., R. Malaka, K. I. Prahesti dan E. Murpiningrum. 2015. Kualitas fisik susu segar kaitannya antara sanitasi, higiene dan adanya kontaminasi Listeria Monocytogenes pada peternakan rakyat di kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. JITP 4 (1): 23 – 27.
Yusuf, R. 2010. Kandungan protein susu sapi perah Frisien Holsten akibat pemberian pakan yang mengandung tepung katu yang berbeda. J. Pet. Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Samarinda.
Zurriyati Y., R.R. Noor dan R.R.A. Maheswari. 2011. Analisis molekuler genotipe kappa kasein (κ-kasein) dan komposisi susu kambing Peranakan Etawah, Saanen dan persilangannya. JITV. 16 (1) : 61-70.




LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Radiasi Matahari
Rumus Radiasi Matahari
R = σT4
Keterangan :
R = Radiasi matahari( Kcal/m2/jam)
Σ = Konstanta Stefann Boltzman( 4,903 x 10-8)
T = Suhu mutlak dalam kelvin (273 + oC)

·           Perhitungan Radiasi Matahari Jam 18.00 WIB
R = σT4
R = 4,903 x 10-8x (273 + 27)4
     = 4,903 x 10-8x (300)4
       = 397,143 kCal/m2/jam
·           Perhitungan Radiasi Matahari Jam 24.00 WIB
R = σT4
R = 4,903 x 10-8x (273 +26)4
     = 4,903 x 10-8x (299)4
       = 391,874 kCal/m2/jam
·           Perhitungan Radiasi Matahari Jam 06.00 WIB
R = σT4
R = 4,903 x 10-8x (273 +26)4
     = 4,903 x 10-8x (299)4
       = 391,874 kCal/m2/jam

·           Perhitungan Radiasi Matahari Jam 12.00 WIB
       R = σT4
       R = 4,903 x 10-8x (273 +35)4
= 4,903 x 10-8x (308)4
= 464,68 kCal/m2/jam

·           Perhitungan Radiasi Matahari Jam 18.00 WIB
       R = σT4
       R = 4,903 x 10-8x (273 +24)4
= 4,903 x 10-8x (297)4
= 381,49 kCal/m2/jam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar