|
LAPORAN PRAKTIKUM PTPK
BAB I
PENDAHULUAN
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan salah
satu jenis sapi perah yang banyak dikembangkan di Indonesia karena produksi
susunya yang tinggi. Produktivitas sapi perah
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya fisiologi lingkungan dan
fisiologi ternak. Iklim di Indonesia
yang cenderung panas membuat produksi susu sapi perah kurang maksimal. Untuk itu perlu diterapkan manajemen
pemeliharaan yang baik, termasuk didalamnya terdapat pencatatan data lengkap
pertumbuhan sapi perah. Dengan
menerapkan manajemen pemeliharaan yang sesuai, nutrien yang terkandung dalam
susu juga akan berkualitas baik.
Tujuan praktikum produksi ternak perah ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, mengetahui bagaimana perkandangan
sapi perah yang baik
dan guna recording dalam
pemeliharaan sapi perah serta mengidentifikasikan anatomi ambing beserta fungsinya
dan proses sintesis susu pada
sapi perah. Manfaat dari praktikum produksi ternak perah adalah
praktikan dapat mengevaluasi kondisi fisiologi
lingkungan dan fisiologi ternak sapi perah terhadap kualitas dan kuantitas susu
yang dihasilkan serta mampu menjelaskan mekanisme pengeluaran susu dari ambing
sapi perah.
|
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi
Perah Peranakan Friesian Holstein
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)
merupakan hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal, dengan ciri -
ciri yang hampir menyerupai FH tetapi produksi susu relatif lebih rendah dari
FH dan badannya juga lebih kecil (Putra, 2009). Sapi ini termasuk jinak dan merupakan sapi
tipe besar, dengan berat betina berkisar antara 540 – 680 kg dan yang jantan
dapat mencapai 800 kg atau lebih. Produksi susu sapi PFH di Indonesia berkisar
antara 2500 – 3500 kg per laktasi. Sapi PFH memiliki ciri-ciri berwarna belang hitam putih atau merah
putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk ambing seperti cawan dengan
puting susu yang kebanyakan kecil dan kurang seragam, terdapat bulu putih yang
berbentuk segitiga pada dahi (Blakely dan Bade, 1995).
2.2. Fisiologi
Lingkungan Sapi Perah
Iklim di suatu wilayah terdiri atas iklim makro dan iklim mikro. Iklim makro merupakan interaksi komponen cuaca
disuatu kawasan tertentu sedangkan iklim mikro merupakan interaksi komponen
cuaca di wilayah yang sempit atau keadaan iklim disekitar ternak ditempatkan
(Putra, 2009). Suhu dan kelembapan udara
merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air,
keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Yani dan Purwanto, 2006).
2.2.1.
Suhu Lingkungan
Suhu
merupakan faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air,
keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak (Yani dan Purwanto,
2006). Suhu lingkungan yang tinggi dapat
menambah beban panas pada ternak selain panas yang berasal dari proses
metabolisme pakan (Utomo et al.,
2009).
2.2.2. Kelembapan
Sapi
perah membutuhkan kelembapan yang ideal antara 60 sampai 70% (Sudono et al.,
2003). Produktifitas sapi
perah dipengaruhi oleh kelembapan udara yang akan berpengaruh terhadap kondisi
fisiologisnya sehingga produktifitasnya dapat terganggu (Aisyah, 2011).
2.2.3. Radiasi
Matahari
Radiasi matahari
adalah pancaran gelombang radiasi pemindahan panas suatu benda ke benda lain
baik secara langsung maupun pantulan. Radiasi
matahari yang terkena secara langsung terhadap ternak akan menyebabkan ternak
merasa tidak nyaman. Kondisi cekaman
panas matahari terhadap sapi FH dipengaaruhi oleh jenis warna kulit atau warna
bulu. Ternak dengan bulu pendek dan
berwarna terang dan juga memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap hal
ini menjadikan ternak mampu mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari (Yani dan Purwanto, 2006). Perpindahan panas radiasi gelombang panjang
pada ternak dengan lingkungannya terjadi karena ternak mengeluarkan panas
tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan dengan pengeluaran
energi radiasi matahari berkisar antara 210,8-459,9 kCal/m2/jam. Perolehan
panas dari luar tubuh (heat gain) akan menambah beban panas bagi ternak,
bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas
tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak
dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan
konveksi. Cekaman panas sedang ditandai
dengan terjadinya pelepasan panas tubuh sebanyak 50% melalui proses respirasi,
pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama
pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan
jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit atau melalui
pertukaran panas di saluran pernapasan (Suherman dan Purwanto, 2015).
2.2.4. Perkandangan
Sapi Perah
Kandang berfungsi sebagai
tempat tinggal untuk ternak selama pemeliharaan dan untuk melindungi ternak dari gangguan cuaca. Kandang yang baik untuk sapi perah yaitu
kandang yang nyaman, bersih dan tidak terlalu sempit. Ukuran stall kandang untuk seekor sapi jantan dewasa adalah
1,5 x 2 m untuk sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5 x 1 m per ekor (Sukmawati, 2010). Pembuatan kandang harus memperhatikan bahan
bangunan yang digunakan, tinggi, luas, bahan atap dan bukaan ventilasi agar
sapi nyaman (Yani et al., 2005). Kandang sapi perah memiliki
standar ukuran panjang × lebar
sebesar ± 13 ×
6,3 m
(Yani et al., 2007). Tipe kandang tail to
tail
dapat
mengurangi penularan penyakit
dan
memudahkan saat sanitasi kandang
(Santosa et al,. 2012). Palung pakan dan tempat minum dapat dibuat dari tembok beton yang bagian dasarnya dibuat cekung dengan lubang pembuangan air pada bagian bawah atau tempat pakan dapat juga dibuat dari bahan papan atau kayu dan tempat minum menggunakan ember (Siregar, 2003).
(Santosa et al,. 2012). Palung pakan dan tempat minum dapat dibuat dari tembok beton yang bagian dasarnya dibuat cekung dengan lubang pembuangan air pada bagian bawah atau tempat pakan dapat juga dibuat dari bahan papan atau kayu dan tempat minum menggunakan ember (Siregar, 2003).
2.3. Fisiologi
Ternak Sapi Perah
Fisiologi ternak perah meliputi suhu tubuh, denyut nadi,
frekuensi pernafasan, tingkah konsumsi air minum, urinasi serta defekasi. Pengetahuan tentang
fisiologi sapi perah sangat penting karena menentukan keberhasilan dari usaha
peternakan sapi perah disamping faktor genetik, tingkah laku dan pakan
(Anderson, 1970). Penampilan ternak dipengaruhi oleh lingkungan,
peralatan dan fasilitas penanganan ternak yang berakibat pada perubahan
fisiologis dan tingkah laku ternak (Akoso, 2008).
2.3.1. Suhu Tubuh
Suhu rektal yang normal pada sapi perah berkisar
antara 38,6 - 39,2°C (Suherman dan Purwanto, 2015). Suhu
tubuh ternak dipengaruhi oleh tingkah laku, konsumsi pakan dan suhu lingkungan,
semakin meningkatnya suhu lingkungan maka suhu rektal semakin meningkat (Utomo et al., 2009).
2.3.2. Denyut
Nadi
Denyut jantung sapi FH yang sehat pada
daerah nyaman adalah 60 sampai 70 kali/menit (Yani dan Purwanto, 2006). Semakin meningkat kelembapan udara baik pada
suhu yang sama atau pada suhu yang meningkat, akan diperoleh hasil prediksi
pada frekuensi respirasi dan denyut jantung sapi yang semakin meningkat
(Suherman et al., 2013).
2.3.3. Frekuensi
Nafas
Frekuensi
nafas yang normal pada sapi perah ialah berkisar antara 10 sampai 30 kali/menit
(Yani dan Purwanto, 2006). Peningkatan
suhu udara diatas suhu termonetral menyebabkan sapi menderita suhu kritis atau
dimulainya menderita cekaman, sehingga mekanisme termoregulasi mulai bekerja
terutama dengan cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung dan penguapan air
melalui kulit (Suherman et al., 2013).
2.3.4. Konsumsi
Air Minum
Konsumsi air minum pada ternak
diberikan secara non ad libitum atau
secara terkontrol yang dibatasi dengan kuantitasnya. Kondisi lingkungan yang tidak nyaman, pada
suhu lingkungan malam hari sekitar 27°C dan siang hari 35°C, sapi FH
mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58 – 12,76 % dari bobot badan (Yani dan
Purwanto, 2006). Konsumsi air minum yang
mengalami peningkatan dipengaruhi oleh cekaman panas pada sapi perah sehingga
saat tubuh ternak mengalami cekaman panas, tubuh akan menurunkan laju
metabolisme dengan menekan sekresi hormon tiroksin serta mengeluarkan heat
shock proteins yang memiliki peranan penting untuk merespon stress panas
dan jenis stress seluler lainnya dan dalam tingkat regulasi dan efisiensi
perkembangan otot (Suherman dan
Purwanto, 2015).
2.3.5. Frekuensi
Urinasi
Urin
adalah cairan sisa hasil dari penyaringan selama proses pencernaan pada ginjal
yang sudah tidak dimanfaatkan dan akan dikeluarkan dari tubuh melalui proses
urinasi. Urinasi
merupakan suatu cara yang dilakukan oleh ternak untuk mengatur proses
keseimbangan tubuh yaitu dengan cara mengeluarkan cairan urin atau sisa-sisa
yang tidak bermanfaat bagi tubuh (Akoso, 2008). Pelepasan panas sapi perah dapat dilakukan melalui mekanisme evaporative
heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit
atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan dan sebagian
melalui feses dan urin (Purwanto et al.,
1995). Frekuensi urinasi dalam kondisi normal pada
sapi berkisar antara 5 sampai 7 kali sebanyak 6 sampai 12 liter dalam sehari (Yani
dan Purwanto, 2010).
2.3.6. Frekuensi
Defekasi
Defekasi merupakan suatu usaha ternak untuk
menyeimbangkan kondisi tubuhnya dengan cara mengeluarkan feses. Feses merupakan hasil sisa proses pencernaan
setelah pakan yang masuk ke dalam sistem pencernaan yang mengalami degradasi
dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari
dalam tubuh (Blakely dan Bade, 1995). Proses pembentukan feses pada sapi perah
dimulai dari masuknya bahan pakan melalui mulut sampai keluarnya feses dari
anus memerlukan waktu 5 sampai 7 jam (Siregar, 1993). Sapi dapat mengeluarkan feses sebanyak 6
sampai 8 kali/hari dan mengeluarkan 8% dari berat badannya (Soetarno, 2003).
2.4. Anatomi
Biologis Ambing
2.4.1. Perkembangan
Ambing
Perkembangan mammae (mammogenesis) terbagi menjadi empat periode, yaitu
perkembangan embrionik, perkembangan fetus, perkembangan pada periode
pertumbuhan postnatal dan perkembangan selama kebuntingan (Lestari, 2006). Perkembangan ambing mengalami pertumbuhan yang
pesat pada periode kebuntingan, hal ini disebabkan adanya peran aktif korpus
luteum untuk menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan estrogen
dan laktogen plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem saluran
kelenjar ambing (Sutopo, 2001).
2.4.2.
Anatomi dan Fisiologi Ambing
Ambing
memiliki dua bagian yaitu bagian eksterior dan interior, pada bagian luar
ambing terdapat dua ligamen yaitu ligamentum suspensorial medialis yang
berfungsi sebagai penunjang dan pemisah ambing bagian kanan dan kiri serta
ligamentum suspensorial lateral yang berfungsi melekatkan ambing pada abdomen. (Reece et
al., 2015). Ambing terdiri dari 4 kuartir yang terpisah
yaitu depan belakang serta kanan dan kiri (Rahayu, 2015). Bagian eksterior ambing diantaranya ligamentum suspensorium medialis, ligamentum suspensorium lateralis, membrane fine, outer wall (Haerah, 2015). Bagian
interior ambing terdiri dari alveolus,
ductus, gland cystern, puting (Taofik dan Depison, 2008).
2.4.3. Pembentukan Susu dan Biosintesis Susu
Darah merupakan prekusor utama
pembentukan susu (Ramli et al.,
2009). Suplai
darah dan kandungan nutrien didalamnya sangat diperlukan untuk dimanfaatkan
dalam proses sintesa susu (Lestari, 2006).
Karbohidrat
mudah dicerna (BETN) dalam pakan di dalam rumen difermentasi menjadi asam lemak
mudah menguap yaitu asam propionat yang selanjutnya mengalami proses
glukoneogenesis di hati membentuk glukosa yang akan dibawa darah ke sel
sekretoris kelenjar ambing untuk digunakan sebagai bahan baku sintesis laktosa
susu (Yusuf, 2010). Pembentukan
propionat untuk glukoneogenesis dipengaruhi oleh ketersediaan karbohidrat pakan
ternak ruminansia (Sukmawati et al.,
2011). Laktosa merupakan karbohidrat
susu yang dibentuk di dalam aparatus golgi melalui proses glukoneogenesis
dibawah kendali hormon galactocyltransferase
(Reece et al., 2015).
Asam asetat dan betahidroksi butirat
merupakan bahan baku utama sintesis lemak susu yang merupakan hasil pencernaan serat
kasar (SK) dalam rumen (Rangkuti, 2011). Pakan di dalam rumen merupakan sumber asam
asetat yang merupakan bahan baku pembentuk berbagai asam lemak dari lemak susu.
Semakin banyak produksi asetat, maka semakin banyak sintesis asam lemak yang
kemudian menyebabkan peningkatan kadar lemak susu (Zurriyati et al., 2011). Kandungan
lemak susu dipengaruhi oleh konsumsi pakan serat kasar dan konsentrasi enzim xanthine oxidase yang dihasilkan oleh
organel sel retikulum endoplasma (Utari et
al., 2012).
Asam
amino akan diserap di dalam usus kemudian dialirkan melalui darah dan akan
masuk ke dalam sel sekretori ambing kemudian akan disintesis menjadi protein
susu (Utari et al., 2012). Peningkatan kadar nitrogen akan menguntungkan
mikrobia rumen karena mikrobia rumen membutuhkan nitrogen untuk sintesis
protein mikrobia (Bella et al.,
2015). Tahapan sintesis protein meliputi
tiga proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA
menjadi protein (Aisyah, 2011).
2.4.4. Pengeluaran Susu
Pengeluaran susu dimulai saat terdapat
rangsangan berupa penglihatan, pendengaran ataupun tekanan misalnya puting
dipegang oleh pemerah atau dihisap oleh anak sapi. Rangsangan akan mencapai sistem saraf pusat
dan sel-sel akan berkontraksi sebagai respon dari hormon
yang dikeluarkan oleh hipotalamus melalui kelenjar pituitary yaitu oxytocin
(Lestari, 2006). Reaksi oksitosin akan menuju ambing dalam
waktu beberapa waktu detik melalui sirkulasi darah dan akan merangsang jaringan
kontraktil dalam kelenjar susu. Jaringan kontraktil ini berupa sel-sel
mioepitel yang mengelilingi alveoli, ductus
dan cistern. Kontraksi ini akan
mengeluarkan susu yang masih di dalam lumen-lumen alveolus dan ductus kecil
untuk menuju ke ductus primer dan selanjutnya ke gland cistern. Selama
proses pemerahan, sphincter muscle dari teat meatus akan
berelaksasi selama jalanya proses pemerahan (Nelson, 2010).
2.5. Susu
Sapi Perah
Susu
sapi perah merupakan cairan yang berasal dari sekresi kelenjar ambing dari sapi
perah yang mengandung gizi tinggi seperti laktosa, protein, lemak, vitamin dan
mineral (Gustiani, 2009). Kualitas
fisik dan kimia sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi perah, pakan,
sistem pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim
dan periode laktasi (Utami et al., 2014).
2.5.1. Syarat
Susu Sapi Perah
Syarat susu sapi
perah yang baik diantaranya bebas dari bakteri patogen, bebas dari zat-zat
berbahaya, tidak tercampur atau tercemar bahan lain, memiliki komposisi dan
yang normal seperti BJ 1,027, kadar lemak minimum 3%,kadar bahan kering tanpa
lemak 7,8%, kadar protein minimum 2,8%, pH 6,3 – 6,8, negatif alkohol serta
memiliki cita rasa yang normal (SNI, 2011). Warna susu sapi segar tergolong normal
apabila berwarna putih kekuningan
(Yuliati et al., 2015). Susu segar memiliki bau normal yang khas serta tidak terdapat adanya endapan (Diastri dan Agustina, 2013).
(Yuliati et al., 2015). Susu segar memiliki bau normal yang khas serta tidak terdapat adanya endapan (Diastri dan Agustina, 2013).
2.5.2. Komponen
Susu
Komponen susu meliputi air, lemak, protein,
laktosa, Solid Non Fat (SNF) atau bahan kering tanpa
lemak dan Total Solid (TSL) (Winarso, 2008).
Kandungan air dalam susu sebesar 87,5%, tingginya kadar air
dalam susu terjadi karena air merupakan medium dispersersi lemak dan komponen
yang larut dalam susu. Susu
mengandung kadar lemak sebesar 3,7%, 4,9% laktosa dan 3,5% protein (Prasetya, 2012). Komposisi air susu dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, umur ternak, tingkat
laktasi, infeksi pada ambing dan pakan (Saleh, 2004).
2.5.3. Berat Jenis Susu
Berat
jenis susu merupakan perbandingan antara berat dari sejumlah susu dengan berat
air yang dapat menandakan keaslian susu tersebut. Apabila berat jenis susu lebih besar dari
berat jenis aslinya, kemungkinan susu tersebut ada penambahan suatu bahan padat
dalam susu. Berat
jenis susu dipengaruhi oleh kandungan bahan kering di dalamnya sehingga
kenaikan bahan kering akan meningkatkan berat jenis susu tersebut (Zurriyati et al., 2011). Semakin encer susu
karena kadar lemak, kadar protein dan nutrisi lainnya konsentrasinya rendah
maka BJ susu juga akan turun (Aisyah, 2011).
2.6. Recording
Recording
adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pencatatan terhadap ternak
secara individu yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangannya. Pencatatan yang diperlukan meliputi
identifikasi ternak, produksi susu, data reproduksi, dan kesehatan ternak
(Nurul et al., 2013). Tujuan utama dari pencatatan adalah untuk
memberitahukan suatu informasi yang detail kepada pemilik ternak
tentang individu sapi secara lengkap dan menyeluruh (Chrisenta, 2012). Tidak
adanya recording yang baik dan jelas
dapat mengakibatkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding), sehingga memunculkan cacat genetik (Hardjosubroto
dalam Hakim et al., 2010).
BAB III
|
METODOLOGI
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Anatomi Biologis
Ambing dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 24 Maret 2016 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Ternak Potong dan Perah Divisi
Perah dan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak,
Berat Jenis Susu dan Recording
pada hari Jumat dan Sabtu tanggal 25 dan 26 Maret 2016 pukul
17.00 WIB - selesai di Kandang
Ternak Sapi Perah Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang.
3.1. Materi
Materi
yang digunakan pada praktikum Produksi Ternak Perah adalah sapi perah Peranakan
Friesian Holstein, awetan ambing,
susu segar dan susu UHT sebagai obyek pengamatan. Alat yang digunakan untuk praktikum ini adalah
nampan sebagai wadah awetan ambing, termometer klinis yang digunakan untuk
mengukur suhu rektal sapi, hygrometer
digunakan untuk mengukur suhu dan kelembapan udara makro dan mikro, black globe temperature digunakan untuk
mengukur radiasi matahari, kalkulator digunakan untuk perhitungan rumus, gelas
ukur 500 ml sebagai wadah penampung susu, laktodensimeter untuk mengetahui
berat jenis susu terukur dan suhu pada susu, meteran digunakan untuk mengukur
perkandangan dan alat tulis digunakan untuk mencatat hasil praktikum yang telah
dilakukan.
3.2. Metode
3.2.1. Fisiologi
Lingkungan
Parameter yang diamati dalam praktikum fisiologi lingkungan meliputi pengamatan
suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari yang
diamati setiap pukul 18.00, 24.00, 06.00, 12.00 dan 18.00 serta perkandangan.
3.2.1.1.
Suhu Lingkungan
Suhu
lingkungan meliputi suhu mikro dan makro. Suhu mikro (dalam) kandang dengan meletakkan
termometer di tengah kandang. Suhu makro
(luar) kandang dengan meletakkan termometer di luar lingkungan kandang lalu
dilihat skala yang menunjukkan °C.
3.2.1.2.
Kelembapan
Kelembapan
lingkungan meliputi kelembapan mikro (dalam) kandang dengan meletakkan
hygrometer di tengah kandang sedangkan kelembapan makro (luar) kandang dengan
meletakkan hygrometer di luar lingkungan kandang lalu dilihat skala yang
menunjukkan Relatif humidity.
3.2.1.3.
Radiasi Matahari
Radiasi matahari diukur dengan menggunakan black globe temperature yang diletakkan
di lingkungan makro kandang lalu membaca skala yang tertera pada alat tersebut dan menghitung hasilnya dengan rumus:
R = δT4
Keterangan:
R =
Radiasi matahari (kCal/m2/jam)
δ =
Konstanta Stefann Boltzman (4,903 x 10-8)
T = Suhu
mutlak dalam Kelvin (273 + °C)
3.2.1.4.
Perkandangan Sapi Perah
Perkandangan
sapi perah dilakukan dengan mengukur kandang yang meliputi panjang kandang (m), lebar kandang (m),
tinggi atap (m), panjang palung (cm), lebar palung (cm), kedalaman palung (cm),
tinggi palung (cm), panjang selokan (m), kedalaman selokan (cm), lebar stall (cm), panjang stall (cm), tinggi stall (cm) dan kamar susu (m2).
3.2.2. Fisiologi Ternak
Metode
yang dilakukan dalam praktikum fisiologi ternak meliputi pengamatan suhu
rektal, denyut nadi, frekuesi nafas, konsumsi air minum serta frekuensi urinasi
dan defekasi.
3.2.2.1. Suhu Rektal
Suhu
rektal diukur dengan memasukkan termometer klinis ke dalam rektum sapi lalu
tunggu selama 1 menit atau hingga termometer menunjukkan angka konstan.
3.2.2.2.
Denyut Nadi
Denyut
nadi diukur dengan meletakkan stetoskop pada ketiak kaki bagian kiri depan atau pada pangkal ekor dan hitung
frekuensi denyut nadi selama 1 menit.
3.2.2.3.
Frekuensi Pernafasan
Frekuensi nafas diukur dengan meletakkan telapak
tangan di dekat lubang hidung lalu menghitung setiap hembusan nafas sapi selama
1 menit.
3.2.2.4.
Konsumsi Air Minum
Konsumsi
air minum diukur dengan menghitung frekuensi pengisian air minum selama 24 jam
lalu kalikan dengan volume air dalam tempat air minum yaitu 1,3 liter.
3.2.2.5.
Frekuensi urinasi
Frekuensi
urinasi diukur dengan menghitung frekuensi pengeluaran urin selama 24 jam.
3.2.2.6.
Frekuensi Defekasi
Frekuensi defekasi diukur dengan menghitung
frekuensi pengeluaran feses selama 24 jam.
3.2.3.
Anatomi Biologis Ambing
Mengamati preparat ambing secara langsung, mengetahui bagian-bagian
eksterior dan interior ambing beserta fungsinya dan gambar pada catatan untuk
pengamatan tersebut dan memfoto preparat ambing. Menyimak
dan berdiskusi mengenai biosintesis susu dan milk let down.
3.2.4. Pengukuran
Berat Jenis Susu
Berat jenis susu diukur dengan menuangkan 500 ml
susu segar dan susu olahan (UHT) ke dalam tabung ukur lalu memasukkan
laktodensimeter ke dalam tabung tersebut dengan sedikit diputar dan diamkan
hingga tenang atau stabil. Membaca skala berat jenis terukur dan membaca suhu
pada laktodensimeter. Menghitung
berat jenis susu sesungguhnya menggunakan rumus :
Berat Jenis = Berat Jenis Terukur – (27,5 – T) x
0,0002
|
Keterangan
:
T : Suhu terukur
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa.
Tabel
1. Hasil Pengukuran Suhu, Kelembapan dan
Radiasi Matahari
No.
|
Jam
|
Suhu
|
Kelembapan
|
Radiasi
Matahari
|
||
Dalam
|
Luar
|
Dalam
|
Luar
|
|||
|
|
----oC----
|
----%----
|
--kkal m-2 jam-1--
|
||
1.
|
18.00
|
27
|
27
|
78
|
79
|
397,143
|
2.
|
00.00
|
27
|
26
|
80
|
80
|
391,874
|
3.
|
06.00
|
26
|
26
|
79
|
82
|
391,874
|
4.
|
12.00
|
35
|
39
|
42
|
22
|
464,60
|
5.
|
18.00
|
29
|
29
|
71
|
72
|
407,84
|
|
Rerata
|
28,8
|
29,4
|
70
|
67
|
410,66
|
Sumber: Data Primer
Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
4.1.1. Suhu Lingkungan
Berdasarkan
hasil praktikum diketahui bahwa suhu rata-rata di dalam kandang sapi perah pada
pagi, siang, dan malam tidak dalam keadaan normal yaitu 28,8°C, begitu juga
pada suhu luar kandang yang tidak dalam keadaan normal yaitu 29,4°C. Suhu normal rata-rata di kandang yaitu 18 – 21°C . Suhu yang tinggi akan mempengaruhi produksi,
tingkah laku, dan juga metabolisme pada sapi perah. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan
Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa suhu merupakan
faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah karena dapat menyebabkan
perubahan pada semua keseimbangan yaitu keseimbangan panas dalam tubuh ternak,
keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Utomo et al.,
(2009)
menambahkan bahwa
suhu lingkungan yang tinggi dapat menambah cekaman panas pada ternak selain panas
yang berasal dari proses metabolisme. Hal ini
sesuai dengan pendapat
Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa apabila sapi PFH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi, maka sapi-sapi tersebut akan mengalami cekaman panas terus menerus yang berakibat pada menurunnya produktivitas. Menurut Siregar (1993) daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21° - 25°C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut.
Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa apabila sapi PFH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi, maka sapi-sapi tersebut akan mengalami cekaman panas terus menerus yang berakibat pada menurunnya produktivitas. Menurut Siregar (1993) daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21° - 25°C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut.
4.1.2. Kelembapan
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan kelembapan tertinggi dalam kandang terjadi pada
pukul 24.00 yang mencapai 80%, sedangkan pada luar kandang terjadi pada pukul
06.00 yang mencapai 82%. Kelembapan
terendah terjadi pada pukul 12.00 baik dalam maupun luar kandang yaitu 42% dan
22%. Kelembapan rata – rata dalam
kandang yaitu 70% sedangkan diluar kandang yaitu 67%. Kelembapan tersebut masih
dalam batas normal. Kelembapan yang di toleransi oleh ternak bekisar antara 60
– 70%. Kelembapan yang tidak sesuai akan
menyebabkan metabolisme dan produksi ternak terganggu. Hal ini sesuai pendapat Sudono et al. (2003) bahwa sapi perah
membutuhkan kelembapan ideal antara 60 - 70%. Hal ini sesuai dengan pendapat Aisyah
(2011) bahwa produktifitas sapi perah
dipengaruhi oleh kelembapan udara yang akan mempengaruhi fisiologisnya sehingga
produktifitasnya terganggu.
4.1.3. Radiasi matahari
Berdasarkan
hasil praktikum rata-rata radiasi matahari pada kandang adalah 410,68 kCal/m2/jam.
Nilai radiasi matahari ini tergolong
sedang namun belum berpotensi menimbulkan cekaman panas terhadap sapi perah
PFH. Menurut Yani dan Purwanto (2006)
bahwa sapi PFH akan mengalami cekaman panas maksimal pada radiasi matahari yang
mencapai 480 kCal/m2/jam.
Suherman dan Purwanto (2015) menambahkan bahwa perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan dengan pengeluaran energi radiasi matahari berkisar antara 210,8 - 459,9 kCal/m2/jam.
Suherman dan Purwanto (2015) menambahkan bahwa perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada ternak dengan lingkungannya terjadi karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan dengan pengeluaran energi radiasi matahari berkisar antara 210,8 - 459,9 kCal/m2/jam.
Nilai radiasi
matahari tergolong sedang namun suhu dalam kandang tergolong tinggi. Kondisi ini dikarenakan sumber panas tidak
hanya berasal dari sinar matahari tetapi juga dari metabolisme tubuh sapi
PFH. Perolehan panas dari luar tubuh (heat
gain) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi
dari suhu nyaman. Menurut Suherman dan
Purwanto (2015) bahwa kondisi suhu tubuh ternak yang mampu mempertahankan panas
dari radiasi matahari dengan melakukan respirasi. Suhu udara yang tinggi dari suhu nyaman
ternak, jalur utama pelepasan panas terjadi melalui mekanisme evaporative
heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit
atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan.
4.1.4. Perkandangan
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Pengukuran Kandang
Parameter
|
Ukuran
|
Panjang kandang
(m)
Lebar kandang
(m)
Tinggi atap
(m)
Panjang palung
(m)
Lebar palung
(cm)
Kedalaman
palung (cm)
Tinggi palung
(cm)
Panjang
selokan (m)
Lebar selokan
(cm)
Kedalaman
selokan (cm)
Lebar stall (m)
Panjang stall (m)
Tinggi stall (m)
Kamar susu (m2)
|
12,49
8,31
4,09
9,08
54
48
64
9,38
26
5
1,57
2,25
1,25
10,66
|
Sumber: Data
Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
Kandang
berfungsi sebagai
tempat tinggal untuk ternak selama pemeliharaan dan untuk melindungi ternak dari gangguan cuaca.
Kandang yang baik untuk sapi perah yaitu
kandang yang nyaman, bersih dan tidak terlalu sempit. Ukuran kandang sapi perah di Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro sudah cukup baik dan sesuai
standar dengan panjang 12,49 m dan lebar 8,31 m. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al. (2007) yang menyatakan bahwa kandang
sapi perah memiliki standar ukuran panjang × lebar sebesar
± 13 ×
6,3 m.
Kandang sapi perah tersebut memiliki lantai kandang yang terbuat dari semen beton
serta memiliki sirkulasi udara yang baik karena
terdapat ventilasi dan atap kandang menggunakan bahan asbes sehingga dapat
mengurangi cekaman panas dari lingkungan. Menurut
pendapat Yani et al. (2005) pembuatan kandang harus
memperhatikan bahan bangunan yang digunakan, tinggi, luas, bahan atap dan bukaan
ventilasi agar sapi merasa nyaman.
Tipe kandang sapi perah di Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro yaitu konvensional dengan
posisi penempatan ternak saling membelakangi atau disebut tail to tail. Kelebihan tipe kandang tail to tail yaitu dapat dengan mudah mengontrol
ternak sedangkan kekurangannya yaitu pergerakan atau exercise ternak terbatas. Santosa et al. (2012) berpendapat bahwa tipe kandang tail to
tail
dapat
mengurangi penularan penyakit
dan
memudahkan saat sanitasi kandang.
Siregar (1993) berpendapat bahwa tempat pakan atau
palung pakan pada sapi yang ideal yaitu 90 x 41 x 35 cm. Palung pakan yang baik dibuat dari beton dengan bentuk
cekung dan tidak terlalu dalam agar ternak dapat menjangkau pakan, selain itu
bahan untuk pembuatan tempat pakan juga dapat dibuat dari papan kayu sedangkan
pemberian konsentrat dapat diletakkan pada ember, tempat minum memiliki ukuran
yang lebih kecil dari ember dengan kapasitas volume air kurang lebih satu liter
dan dapat dijangkau oleh mulut ternak. Hal
ini sesuai dengan pendapat Siregar (2003) bahwa palung pakan dan tempat minum
dapat dibuat dari tembok beton yang bagian dasarnya dibuat cekung dengan lubang
pembuangan air pada bagian bawah atau tempat pakan dapat juga dibuat dari bahan
papan atau kayu dan tempat minum menggunakan ember
4.2.
Fisiologi Ternak
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil
Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadi dan Frekuensi Nafas
No.
|
Jam
|
Suhu Tubuh
|
Denyut Nadi
|
Frekuensi
Nafas
|
|
|
----oC----
|
-----kali/menit-----
|
|
1.
|
18.00
|
38,6
|
67
|
19
|
2.
|
00.00
|
38,6
|
65
|
56
|
3.
|
06.00
|
38,2
|
61
|
40
|
4.
|
12.00
|
38,8
|
65
|
70
|
5.
|
18.00
|
38,8
|
60
|
55
|
|
Rerata
|
38,6
|
64
|
48
|
Sumber: Data Primer
Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
4.2.1. Suhu Tubuh
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa rata-rata suhu tubuh
sapi perah yaitu 38,6°C. Hal ini
menunjukan bahwa ternak dalam kondisi normal yang menandakan bahwa ternak
tersebut dalam keadaan nyaman atau homeostasis.
Suhu tubuh ternak dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan aktivitas
ternak, semakin meningkatnya suhu lingkungan maka suhu tubuh ternak semakin
meningkat karena ternak akan berusaha menstabilkan suhu tubuhnya terhadap suhu
lingkungan agar panas tubuh yang dikeluarkan sebanding dengan panas tubuh yang
diterima. Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman dan Purwanto (2015) bahwa
suhu rektal yang normal pada sapi perah berkisar antara 38,6 - 39,2°C. Utomo et
al. (2009) menambahkan bahwa suhu
tubuh ternak dipengaruhi oleh tingkat laku, konsumsi pakan dan suhu lingkungan.
4.2.2. Denyut
Nadi
Berdasarkan hasil praktikum
yang telah dilakukan diperoleh hasil frekuensi denyut nadi rata-rata sebanyak
64 kali/menit. Denyut nadi pada sapi perah ini dalam kisaran normal.
Denyut nadi ternak tetap normal karena ternak hanya membuang panasnya
melalui nafas dengan cara menaikkan frekuensi nafas dan mengurangi aktifitasnya. Hal ini sesuai pendapat Yani dan
Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa
denyut jantung sapi FH yang sehat pada daerah nyaman adalah 60 – 70
kali/menit.
Pengaruh suhu lingkungan dan kelembapan udara dapat menyebabkan
perubahan kecepatan denyut nadi sapi perah. Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman et
al.
(2013) yang menyatakan bahwa semakin meningkat kelembapan udara baik pada suhu yang sama atau pada suhu yang tinggi, maka frekuensi
respirasi dan denyut jantung sapi yang semakin
meningkat.
4.2.3. Frekuensi
Nafas
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan diketahui bahwa rerata frekuensi nafas sapi perah adalah 48
kali/menit. Frekuensi nafas tersebut
lebih tinggi dari kisaran normal sehingga ternak diindikasikan terkena
stress. Frekuensi nafas yang normal pada
sapi perah tidak lebih dari 30 kali/menit. Tingginya frekuensi nafas dipengaruhi oleh
suhu lingkungan yang tinggi sehingga ternak mengalami cekaman panas dan
mengeluarkan nafas yang berlebih agar tubuhnya tetap homeostasis. Frekuensi nafas yang tinggi namun denyut nadi
dan suhu tubuh yang normal dimungkinkan karena adanya gangguan dari peternak
dan adanya aktifitas metabolisme dari ternak itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa
pada suhu nyaman frekuensi nafas yang normal pada sapi perah berkisar antara 10
– 30 kali/menit dan ditambahkan oleh pendapat Suherman et al. (2013) yang menyatakan bahwa apabila suhu udara meningkat
diatas suhu thermonetral, sapi akan mulai
menderita suhu kritis atau dimulainya menderita cekaman, sehingga mekanisme termoregulasi
mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung dan
penguapan air melalui kulit.
4.2.4. Konsumsi
Air Minum
Tabel 4. Hasil Pengukuran Konsumsi Air Minum
Pengisian ke-
|
Volume
|
Waktu
Pengisian
|
----------- L
----------
|
||
1
|
1,3
|
18.00
|
2
|
1,3
|
23.12
|
3
|
1,3
|
05.51
|
4
|
1,3
|
08.54
|
5
|
1,3
|
09.44
|
6
|
1,3
|
09.50
|
7
|
1,3
|
09.56
|
8
|
1,3
|
10.52
|
9
|
1,3
|
10.56
|
10
|
1,3
|
14.05
|
11
|
1,3
|
14.17
|
12
|
1,3
|
16.43
|
13
|
1,3
|
17.13
|
14
|
1,3
|
17.19
|
15
|
1,3
|
17.24
|
16
|
1,3
|
17.56
|
Total
|
20,8
|
|
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak
Perah, 2016.
Berdasarkan data
diatas dapat diketahui bahwa sapi PFH mengkonsumsi air minum sebanyak 20,8
liter selama 24 jam. Sapi perah PFH
rata-rata mengkonsumsi air minum sebanyak 40 liter perhari. Banyak hal yang dapat pengaruhi konsumsi air
minum ternak antara lain bobot badan dan juga suhu lingkungan ternak. Konsumsi
air minum ternak tergolong rendah dan belum mengalami peningkatan konsumsi air
minum meskipun suhu lingkungan tinggi (Tabel 1) berarti pengaruh dari bobot
badannya yang kecil. Rendahnya konsumsi
air minum dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kandungan air dalam
pakan yang cukup tinggi sehingga sapi mengkonsumsi air dalam jumlah sedikit. Menurut Utomo et al. (2009) bahwa konsumsi air minum pada ternak meningkat akibat
terjadinya cekaman panas pada tubuh ternak sapi perah.
Cekaman panas
terjadi karena ternak tersebut mengalami thermoregulasi
melalui frekuensi pernafasan. Yani dan
Purwanto (2006) menyatakan bahwa sapi mengkonsumsi air minum sebanyak 37 – 44
liter per hari (10,58 – 12,76 % dari bobot badan). Hal ini ditambahkan Suherman dan Purwanto
(2015) bahwa konsumsi air minum yang meningkat dipengaruhi oleh cekaman panas
pada sapi perah untuk menurunkan laju metabolisme dengan menekan sekresi hormon
tiroksin serta mengeluarkan heat shock proteins yang memiliki peranan
penting untuk merespon stress panas.
4.2.5. Frekuensi Urinasi dan Defekasi
Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi
No.
|
Waktu Urinasi
|
Waktu Defekasi
|
1
|
18.37
|
18.46
|
2.
|
19.40
|
18.50
|
3.
|
22.40
|
19.44
|
4.
|
02.40
|
22.36
|
5.
|
04.57
|
01.20
|
6.
|
06.14
|
02.40
|
7.
|
08.12
|
04.49
|
8.
|
11.39
|
04.54
|
9.
|
13.43
|
06.01
|
10.
|
15.02
|
08.04
|
11.
|
16.25
|
09.19
|
12.
|
17.32
|
09.54
|
13.
|
10.44
|
|
14.
|
11.54
|
|
15.
|
13.38
|
|
16.
|
14.59
|
|
17.
|
16.20
|
|
18.
|
17.00
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak
Perah, 2016.
Berdasarkan
hasil pengamatan selama 24 jam dapat diketahui bahwa frekuensi urinasi pada
sapi perah yang diamati sebanyak 12 kali dalam sehari. Hasil yang diperoleh diatas frekuensi normal
pada sapi perah. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2010) bahwa frekuensi
urinasi dalam kondisi normal pada sapi berkisar antara 5 sampai 7 kali sebanyak
6 sampai 12 liter dalam sehari. Perbedaan frekuensi urinasi ini
dapat disebabkan karena sapi berusaha untuk melepaskan panas dari tubuhnya
melalui urin agar menjaga keseimbangan homeostatisnya. Purwanto et al. (1995) menambahkan
bahwa pelepasan panas sapi perah dapat dilakukan melalui mekanisme evaporative
heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit atau
melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan dan sebagian melalui
feses dan urin.
Frekuensi defekasi yang diperoleh selama 24
jam dicapai sebanyak 18 kali dalam sehari. Hasil ini juga diatas dari frekuensi defekasi
normal sapi perah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Soetarno (2003) bahwa sapi dapat mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai
8 kali/hari dan mengeluarkan 8% dari berat badannya. Defekasi merupakan suatu
usaha ternak untuk menyeimbangkan kondisi tubuhnya dengan cara mengeluarkan feses.
Menurut Blakely dan Bade (1995) feses merupakan hasil sisa proses pencernaan setelah pakan yang masuk
ke dalam sistem pencernaan yang mengalami degradasi dan diserap atau tidak
mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari dalam tubuh. Siregar (1993) berpendapat bahwa proses pembentukan feses pada sapi perah
dimulai dari masuknya bahan pakan melalui mulut, mengalami proses pencernaan
dalam perut sampai keluarnya feses dari anus yang memerlukan waktu 5 sampai 7
jam.
4.3. Perkembangan Ambing
Berdasarkan
hasil praktikum diketahui bahwa perkembangan ambing yaitu dimulai dari fase pre
natal, natal sampai pubertas, fase post pubertas, fase kebuntingan dan laktasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Lestari
(2006) yang menyatakan bahwa menjadi empat fase, yaitu perkembangan embrionik,
perkembangan fetus, perkembangan pada periode pertumbuhan postnatal dan
perkembangan selama kebuntingan. Sutopo
(2001) menambahkan bahwa perkembangan ambing mengalami pertumbuhan pesat pada
periode kebuntingan karena corpus luteum
berperan aktif untuk menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan
estrogen dan laktogen plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem
saluran kelenjar ambing.
4.4. Anatomi Biologis Ambing
Ambing merupakan
kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu kecuali pada putingnya yang terdapat
pada ternak mamalia dan berfungsi untuk menghasilkan susu. Ambing
terdiri dari bagian eksterior dan interior yang dibagi menjadi 4 kuartir. Hal ini sesuai dengan pendapat Recee et al. (2015) yang menyatakan bahwa ambing memiliki dua bagian yaitu bagian
eksterior dan interior. Rahayu (2015)
menambahkan bahwa ambing terdiri dari 4 kuartir yang terpisah yaitu depan
belakang serta kanan dan kiri.
Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior Ambing
|
1
2
3
4
|
Keterangan
:
1. Medial suspensory ligament
2. Outer
wall
3. Membrane
fine
4. Lateral
suspensory ligament
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
Bagian eksterior ambing
terdiri dari outer wall berfungsi sebagai pelindung ambing, ligamentum suspensorium lateralis
berfungsi sebagai alat untuk melekatnya ambing dengan abdomen, membrane fine berfungsi sebagai pemisah
antara kuartir depan dengan kuartir belakang,
ligamentum suspensorium medialis yang berfungsi sebagai pemisah antara
kuartir kanan dan kiri. Hal ini sesuai
dengan pendapat Haerah (2015)
yang menyatakan bahwa bagian eksterior ambing meliputi ligamentum suspensorium medialis, ligamentum suspensorium lateralis, membrane fine, outer wall. Recee et
al. (2015) menambahkan bahwa pada bagian luar ambing terdapat dua ligamen
yaitu ligamentum suspensorial medialis yang berfungsi sebagai penunjang dan
pemisah ambing bagian kanan dan kiri serta ligamentum suspensorial lateral yang
berfungsi melekatkan ambing pada abdomen. Menurut Wing (1963) membrane fine merupakan pemisah antara
ambing bagian kuartir depan dan belakang, sedangkan outer wall memiliki fungsi untuk melindungi ambing.
Ilustrasi 3. Bagian-bagian Interior
Ambing
|
1
2
3
4
5
6
7
|
Keterangan
:
1.
Alveoli
2.
Lobulus
3. Lobus
4. Major duct tersier
5. Gland cistern
6. Teat cistern
7. Streak canal
Sumber: Data Primer Praktikum
Produksi Ternak Perah, 2016.
Bagian
interior terdiri dari lobules containing
alveol yang berfungsi sebagai penghasil susu, lumen yang berfungsi sebagai
tempat pencampuran komponen susu, milk
duct berfungsi sebagai saluran untuk mentransporkan susu menuju gland cystern, gland cystern berfungsi
sebagai penampungan susu saat akan keluar, annular
fold merupakan tempat otot springter. Otot springter
dapat membuka dan menutup sehingga berfungsi untuk mencegah masuknya bakteri
dari luar, teat meatus berfungsi
sebagai transport susu menuju streak canal, streak canal berfungsi sebagai tempat keluarnya susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Taofik dan
Depison (2008) yang menyatakan bahwa ambing bagian dalam terdapat organ-organ
diantaranya alveolus, milk ductus, gland cystern, dan puting.
Alveolus merupakan jaringan sekretorik di dalam ambing
dan tersusun atas sel-sel epitel yang mengelilingi sebuah rongga yang disebut
rongga. Hal ini sesuai dengan pendapat
Taofik dan Depison (2008) bahwa alveolus merupakan sel-sel sekretorik di dalam ambing. Lumen alveoli merupakan rongga yang akan
menampung susu dari sel-sel epitel. Lobulus merupakan sekelompok alveloli yang
mempunyai duktus dan dibungkus oleh kapsula jaringan ikat. Ductus
merupakan saluran yang akan mengalirkan susu dari lobul menuju gland cistern dan ductus memiliki sel-sel epitel untuk mengadakan sekresi susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Wikantadi (1978)
bahwa ductus yang memiliki satu lapis
sel-sel epitel yang mampu mensekresi susu.
Susu yang sudah disekresikan oleh alveolus kemudian
disalurkan melalui ductus lalu
ditampung oleh gland cistern yang
merupakan tempat penampungan sementara susu yang sudah disekresi. Menurut Gillespie dan Flanders (2009) gland cistern merupakan muara yang memiliki
fungsi untuk menampung sementara susu yang sudah disekresi sebelum disalurkan
lewat ke teat cistern. Setelah terjadi tekanan pada gland cistern, susu akan mengalir melalui
teat cistern dan keluar melalui
lubang puting yang disebut dengan teat
meatus atau streak canal. Hal ini ditambahkan dengan pendapat
Nelson (2010) bahwa puting berada di ujung setiap kuartal ambing yang berfungsi
sebagai katup untuk membebaskan susu dan untuk menyusui anak sapi.
Pembentukan susu terjadi secara berkelanjutan dengan
melibatkan darah `sebagai prekusor pembuatan susu. Darah tersebut mengandung banyak nutrisi
yang berasal dari pakan ternak, sehingga
susu yang disekresikan pun mengandung komposisi nutrisi seperti air dan total
solid yang meliputi lemak, protein, laktosa, vitamin dan mineral. Komponen-komponen tersebut terbentuk dengan
bantuan mikroba dalam saluran pencernaan ruminansia. Hal ini sesuai dengan pendapat Ramli et al. (2009) yang menyatakan bahwa darah merupakan prekusor utama pembentukan
susu. Lestari (2006) menambahkan bahwa suplai
darah dan kandungan nutrien didalamnya sangat diperlukan untuk dimanfaatkan
dalam proses sintesa susu.
Biosintesis susu terjadi melalui 3
proses yaitu sintesis laktosa, sintesis lemak dan sintesis protein. Sintesis laktosa diawali dari pakan yang berserat
kemudian akan masuk kedalam rumen menjadi VFA dalam bentuk propionat. Propionat tersebut akan masuk ke hati
mengalami proses glukoneogenesis, selanjutnya dibawa oleh darah menuju sel-sel
sekretori untuk membentuk laktosa susu. Laktosa merupakan disakarida dari glukosa dan
galaktosa yang dibentuk oleh enzim laktose
sintetase. Hal ini sesuai dengan
pendapat Yusuf (2010) yang menyatakan bahwa serat kasar akan difermentasi di
dalam rumen menjadi asam lemak mudah menguap yaitu asam propionat yang selanjutnya
mengalami proses glukoneogenesis di hati sehingga terbentuk glukosa dan
galaktosa yang akan dibawa darah menuju sel sekretoris kelenjar ambing yaitu
aparatus golgi untuk digunakan sebagai bahan baku sintesis laktosa susu. Menurut Reece et al. (2015) laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat
dalam susu yang dibentuk di dalam hati melalui proses glukoneogenesis dibawah
kendali hormon galactocyltransferase.
Sintesis lemak diawali ketika pakan
masuk ke rumen menjadi VFA dalam bentuk asetat dan butirat. Asetat masuk ke usus halus menjadi asam lemak
dan butirat menuju dinding rumen menjadi BHBA (Beta Hydroxy Butyric Acid) masuk ke usus halus menjadi asam lemak.
Asam-asam lemak dibawa oleh darah menuju sel-sel sekretori sitoplasma dan diubah menjadi lemak susu. Tinggi rendahnya komponen lemak susu
tergantung dari banyak sedikitnya jumlah serat kasar yang dikonsumsi ternak. Hal ini sesuai pendapat Rangkuti (2011) yang
menyatakan bahwa asam asetat dan butihidroksi butirat merupakan bahan baku utama
sintesis lemak susu yang merupakan hasil pencernaan SK dalam rumen dan
ditambahkan oleh pendapat Utari et al. (2012) yang menyatakan bahwa
kadar lemak susu dipengaruhi oleh konsumsi pakan serat kasar dan konsesntrasi
enzim xanthine oxidase yang dihasilkan oleh organel sel retikulum endoplasma.
Sintesis
protein diawali dari pakan yang mengandung protein kasar kemudian masuk ke
rumen terbagi menjadi RDP (Rumen Degratable
Protein) dan RUP (Rumen Undegratable Protein). Menurut Suryani et al. (2015) RDP dan RUP penting untuk memacu sintesis mikroba
dalam rumen. RDP berupa NH3 lalu dicerna oleh mikroba protein
menjadi asam amino dan sisanya dibawa ke ginjal menghasilkan urea melalui
proses urinasi. RUP berupa protein by pass menuju usus halus dan
menghasilkan asam amino. Asam amino dari RDP dan RUP akan menuju sel sekretori
ambing melalui proses replikasi, transkripsi dan translasi untuk menghasilkan
protein susu. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan Aisyah (2011)
bahwa tahapan sintesis protein meliputi tiga proses yaitu replikasi DNA,
transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein. Menurut Utari et al. (2012) bahwa asam amino akan diserap di dalam usus kemudian
dialirkan melalui darah dan akan masuk ke dalam sel sekretori ambing kemudian
akan disintesis menjadi protein susu.
Proses
keluarnya air susu atau milk let down
dimulai dari rangsangan berupa penglihatan, pendengaran dan rabaan. Rangsangan penglihatan terjadi saat sapi melihat
peternak yang akan memerah, rangsangan pendengaran terjadi saat sapi mendengar
aktifitas peternak saat akan memerah atau suara pedet yang ingin menyusu dan
rangsangan rabaan berupa tangan yang akan memerah atau mulut anak sapi yang
ingin menyusui kemudian rangsangan-rangsangan tersebut akan berjalan melalui
sumsum tulang belakang dan diteruskan ke otak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wikantadi (1978) yang menyatakan bahwa
stimulan menyebabkan sapi merasa akan diperah dan menimbulkan implus yang
diteruskan melalui nervus inguinalis ke corda spinalis dan otak.
Otak yang mendapatkan
rangsang melepaskan hormone oxytocin
yang berasal dari kelenjar pituitari. Oxytocin tersebut kemudian berjalan
menuju jantung melalui pembuluh darah
vena, di jantung oxytocin kemudian
dipompa ke seluruh tubuh termasuk ambing melalui arteri. Oxytocin
yang masuk ke ambing menyebabkan sel-sel mioepitel berkontraksi sehingga
menyebabkan keluarnya air susu. Otak
melepaskan oxytocin dari lobulus
posterior dari kelenjar pituitaria. Oxytocin
yang terbebaskan masuk ke cabang dari vena jungularis dan berjalan ke jantung
kemudian ditranspor ke seluruh bagian tubuh oleh darah arteriil. Oxytocin
mencapai kelenjar susu setelah melalui aorta dan masuk ke ambing melalui arteri
pudenda externa, di dalam ambing oxytocin
menyebabkan sel-sel myoepithel berkontraksi, hal ini menyebabkan terperasnya
air dari alveoli keluar dari lumen.
Ilustrasi 4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Positif
Ilustrasi 4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Positif
Rangsangan
|
Sel Sekretoris
Sumber:
Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
Ilustrasi 5.
Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Negatif
Rangsangan
|
Sel sekretoris
Sumber:
Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2016.
4.4. Berat Jenis Susu
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan Berat Jenis (BJ) susu pada susu segar lebih rendah dibandingkan
dengan susu olahan (Ultra Milk) yaitu
1,0259 pada susu segar, 1,0267 pada susu olahan. Hal ini terjadi karena susu olahan sudah
mengalami proses pendinginan yang menyebabkan lemak pada susu mengendap. Standar berat jenis susu menurut SNI (2011) yaitu 1,027 – 1,028. Pengukuran berat jenis susu
menggunakan alat yang dinamakan lactodensimeter.
Berat jenis susu berpengaruh terhadap komponen susu, semakin tinggi berat jenis
maka akan semakin meningkatkan komponen-komponen susu. Semakin tinggi berat jenis susu maka akan
semakin tinggi pula komponen lemak susu yang
diikuti dengan kenailkan kandungan bahan padatan bukan lemak (SNF). Hal ini sesuai dengan pendapat Zurriyati et al. (2011) bahwa berat jenis susu
dipengaruhi oleh kandungan bahan kering di dalamnya sehingga kenaikan bahan
kering akan meningkatkan berat jenis susu. Hal ini sesuai pendapat Aisyah (2011) bahwa semakin
encer susu karena kadar lemak, kadar protein dan nutrisi lainnya konsentrasinya rendah
maka BJ susu juga akan turun.
4.5. Recording
Berdasarkan
hasil praktikum didapat data bahwa ternak sapi PFH betina yang diamati telah
melahirkan anaknya pada tanggal 4 bulan November 2015, telah diinseminasi
dengan nomor straw 38988 dan nomor inseminator 7248 pada tanggal 21 April 2015,
serta memiliki kondisi (kesehatan) yang cukup baik. Recording dilakukan untuk mencatat aspek reproduksi (perkawinan),
identitas ternak, masa produksi dan kesehatan ternak, namun kondisi peternakan
sapi PFH di lokasi kandang perah Fakultas Peternkan dan Pertanian belum
memenuhi standar dari data recording,
seharusnya pencatatan recording yang
baik meliputi identitas ternak, produksi susu, data reproduksi dan kesehatan
ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Nurul et al. (2013) yang menyatakan
bahwa Recording adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan
pencatatan terhadap ternak secara individu yang menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangannya, pencatatan yang diperlukan meliputi identitas ternak, produksi
susu, data reproduksi dan kesehatan ternak.
Kondisi recording
sapi di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro kurang
lengkap. Ketiadaan
data produksi, kesehatan dan identitas ternak dapat menyebabkan tidak
lengkapnya data recording, sehingga tidak dapat mengetahui produksi yang telah dihasilkan,
tidak dapat mengetahui riwayat penyakit pada ternak dan dapat memungkinkan
terjadinya inbreeding serta rendahnya
penanganan terhadap ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hakim et al. (2010) bahwa tidak adanya recording yang baik dan jelas dapat mengakibatkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding), sehingga memunculkan cacat genetik. Dampak buruk tersebut dapat diketahui bahwa recording sangat perlu dilakukan karena dapat memberikan manfaat bagi usaha peternakan untuk mengetahui semua informasi yang berkaitan dengan ternak yang dipelihara. Chrisenta (2012) menambahkan bahwa tujuan utama dari pencatatan (recording) adalah untuk memberitahukan suatu informasi yang detail kepada pemilik ternak tentang individu sapi secara lengkap dan menyeluruh.
Hakim et al. (2010) bahwa tidak adanya recording yang baik dan jelas dapat mengakibatkan terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding), sehingga memunculkan cacat genetik. Dampak buruk tersebut dapat diketahui bahwa recording sangat perlu dilakukan karena dapat memberikan manfaat bagi usaha peternakan untuk mengetahui semua informasi yang berkaitan dengan ternak yang dipelihara. Chrisenta (2012) menambahkan bahwa tujuan utama dari pencatatan (recording) adalah untuk memberitahukan suatu informasi yang detail kepada pemilik ternak tentang individu sapi secara lengkap dan menyeluruh.
BAB V
5.1. Simpulan
pada
praktikum dapat disimpulkan bahwa organ interior pada ambing terdiri dari alveolus,
lumen, major duct tersier, gland sistern,
teat sistern dan streak canal. Organ eksterior ambing terdiri dari lateral suspensory ligament, medial suspensory ligament, outer wall dan membrane fine. Darah
merupakan prekursor utama susu yang mengandung nutrien penting seperti protein,
laktosa dan lemak. Air susu akan keluar apabila terdapat rangsangan dari luar
seperti tekanan pemerahan, pendengaran dan penglihatan. Fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak pada sapi perah sudah cukup
nyaman bagi ternak namun hanya mengalami sedikit stress dilihat dari frekuensi
nafasnya yang tinggi. Berat jenis susu segar lebih rendah
dibandingkan susu UHT. Recording pada ternak sangat bermanfaat bagi peternak
karena dapat mengetahui dan mengidentifikasi ternak yang dipeliharanya.
5.2. Saran
Saran untuk praktikum Produksi Ternak Perah adalah
lebih berhati-hati ketika melakukan handling
pada sapi perah ketika akan melakukan pengukuran fisiologi sapi perah
seperti frekuensi pernafasan agar tidak menimbulkan stress pada ternak.
|
Aisyah, S. 2011. Tingkat produksi susu dan kesehatan
sapi perah dengan pemberian aloe barbadensis miller. J. Gamma. 7 (1) : 50 - 60.
Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius,
Yogyakarta.
Anderson, B.E. 1970. Temperatur Regulation and
Environmental Physiological, in Duke Physiology of Domestic Animal.8th
edition. Cornell University, London.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI.
3141. 1. 2011 tentang persyaratan mutu, pengambilan contoh, pengujian,
pengemasan dan pelabelan susu sapi segar.
Bella,
P., B.W.H.E. Prasetiyono dan A. Muktiani. Pengaruh pemberian total mixed ration
berbasis jerami jagung teramoniasi terhadap pemanfaatan nitrogen pada sapi
perah laktasi. J. Agromedia. 33 (1):
97 – 103.
Blakely,
J. dan D.H. Bade. 1995. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Chrisenta,
B. B. 2012. Kajian Penampilan Reproduksi Sapi Brahman cross Program Aksi
Perbibitan di Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Diasti,
I. G. A. F dan K. K. Agustina. 2013. Uji organoleptik dan tingkat keasaman susu
sapi kemasan yang dijual di pasar tradisional kota Denpasar. J. Indonesia
Medicus Veterinus 2 (4): 453 – 460.
Gillespie, J. and Flanders, F. 2009. Modern
Livestock and Poultry Production. Nelson Education, Canada.
Gustiani,
E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan
susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (3): 96-100.
Haerah, D. 2015. Deteksi Staphylococcus
aureus Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang. Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).
Hakim, L., G. Ciptadi dan V.M.A. Nurgiatiningsih.
2010. Model recording data performans
sapi potong lokal di Indonesia. J. Ternak Tropika 11 (2): 6-17.
Lestari T.D. 2006. Laktasi pada Sapi Perah sebagai
Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran,
Bandung. (Skripsi).
Nelson, M.G. 2010.
The Complete Guide to Smallscale Farming: EverythingYou
Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,and Other
Small Animals. Atlantic Publishing Company, Florida.
Nurul, P., A.T.A. Sudewo dan S.A. Santosa. 2013.
Penggunaan Taksiran Produksi Susu dengan Test Interval Method (TIM) pada Evaluasi
Mutu Genetik Sapi Perah di BBPTU Sapi Perah Baturraden. Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Skripsi).
Prasetya, H. 2012. Prospek Cerah
Beternak Sapi Perah. Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
Putra,
A. 2009. Potensi Penerapan Produksi
Bersih Pada Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus Pemerahan Susu Sapi Moeria
Kudus Jawa Tengah). Universitas Diponegoro, Semarang. Tesis.
Purwanto,
B.P., A.P. Santoso dan A. Murfi. 1995. Fisiologi Lingkungan. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahayu.
S. 2015. Deteksi staphylococcus agalactiae penyebab
mastitis subklinis pada sapi perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Fakultas
Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).
Ramli,
N., M. Ridla, T. Toharmat dan L. Abdulla. 2009. Produksi dan kualitas susu sapi
perah dengan pakan silase ransum komplit berbasis sumber serat sampah sayuran
pilihan. J.Indon.Trop.Anim.Agric. 34
(1): 36 – 41.
Rangkuti, J.H. 2011. Produksi dan Kualitas Susu
Kambing Peranakan Ettawa (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda. Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor. (Skripsi).
Reece, W.O., H.H. Erickson, J.P. Goff dan E.E.
Uemura. 2015. Duke’s Physiology of Domestic Animal. Willwy Blackwell, USA.
Saleh, E. 2004.
Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Universitas Sulawesi Utara,
Sulawesi Utara.
Santosa,
K., Warsito dan A. Andoko. 2012. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Siregar,
S.B. 1993. Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha Sapi Perah. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Siregar,
S.B. 2003. Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha Sapi Perah. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Soetarno,
T. 2003. Manajemen Ternak Perah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudono A.
Rosidana F. R. dan Setiawan B. S. 2003. Berternak
Sapi Perah
Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Suherman,
D. dan B.P. Purwanto. 2015. Respon fisiologis sapi perah dara Friesh Holland
yang diberi konsentrat dengan tingkat energi berbeda. J. Sain Peternakan
Indonesia. 10 (1): 13-21.
Suherman, D., B.P.
Purwanto, W. Manalu dan I.G. Permana. 2013.
Simulasi artificial neural network untuk menentukan suhu kritis pada Sapi Fries
Holland berdasarkan respon fisiologis. JITV. 18 (1): 70-80.
Suherman,
D., B.P. Purwanto, W. Manalu dan I.G. Permana. 2013. Model Penentuan suhu
kritis pada sapi perah berdasarkan kemampuan produksi dan manajemen pakan. J.
Sain Peternakan Indonesia. 8 (2):
121 – 138.
Sukmawati,
F.K. 2010. Petunjuk Praktis Perkandangan Sapi. Kementerian Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Besar dan Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Mataram, Mataram.
Sukmawati,
N.M., I.G. Permana, A. Thalib dan S. Kompiang. 2011. Pengaruh complete rumen modifier (CRM) dan calliandra calothyrus terhadap
produktivitas dan gas metan enterik pada kambing perah PE. JITV. 16 (3): 173-18.
Suryani,
N.N., I.G. Mahardika, S. Putra dan N. Sunjaya. 2015. Pemberian gamal tambahan
dalam ransum meningkatkan neraca nitogen dan populasi mikroba proteolitik rumen
Sapi Bali. J. Veteriner 16 (1): 117
– 123.
Sutopo.
2001. Pengaruh Pemberian PMSG terhadap Pertumbuhan Ambing Ban Prqeiiukse Susu
Pada Sapi Perah. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis).
Taofik.
A. dan Depison. 2008. Hubungan antara lingkar perut dan volume ambing dengan
kemampuan produksi susu kambing Peranakan Ettawa. J. Ilmiah ilmu-ilmu
Peternakan. 11 (2): 59-74.
Utami,
K. B., L. E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah
PFH (studi kasus pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten
Magelang). J. Ilmu-ilmu Peternakan. 24
(2): 58-66.
Utari,
F.D., B.W.H.E. Prasetiyono dan A. Muktiani. 2012. Kualitas susu kambing perah peranakan ettawa
yang diberi suplementasi protein terproteksi dalam wafer pakan komplit berbasis
limbah agroindustri. J. Animal
Agriculture. 1 (1): 427-441.
Utomo, B., D.P. Miranti dan G.C. Intan. 2009. Kajian
termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi
peningkatan kualitas pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Hal : 263-268.
Utomo,
B. dan D.P. Miranti. 2010. Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapat
perbaikan manajemen pemeliharaan. J. Cakra Tani. 25 (1): 21-25.
Wikantadi, B. 1978. Biologi Laktasi. Bagian Ternak Perah, Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Winarso,
D. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan
prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai
Pasuruan. J. Sain Vet. 26 (2): 58-65.
Wing,
J.M. 1963. Dairy Cattle Management Principles and Applications. Reinhold Publishing Corporation, New
York.
Yani, A., H. Suhardiyanto dan B.P. Purwanto. 2005.
Analisis dan stimulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah
menggunakan compulational fluid dynamics
(CFD). Media Peternakan. 30 (3) :
218-228.
Yani, A. dan B.P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro
terhadap respons fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan modifikasi
lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. Media Peternakan. 29 (1) : 35-46.
Yani, A., Suhardiyanto, R. Hasbullah, dan B. P. Purwanto.
2007. Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah
menggunakan computational fluid dynamics (CFD). Media Peternakan 30: 218-228.
Yuliati,
F. N., R. Malaka, K. I. Prahesti dan E. Murpiningrum. 2015. Kualitas fisik susu
segar kaitannya antara sanitasi, higiene dan adanya kontaminasi Listeria Monocytogenes pada peternakan rakyat di kabupaten Sinjai Sulawesi
Selatan. JITP 4 (1): 23 – 27.
Yusuf,
R. 2010. Kandungan protein susu sapi perah Frisien Holsten akibat pemberian
pakan yang mengandung tepung katu yang berbeda. J. Pet. Fakultas Pertanian,
Universitas Udayana. Samarinda.
Zurriyati
Y., R.R. Noor dan R.R.A. Maheswari. 2011. Analisis molekuler genotipe kappa kasein (κ-kasein) dan komposisi susu
kambing Peranakan Etawah, Saanen dan
persilangannya. JITV. 16 (1) : 61-70.
|
Lampiran
1. Perhitungan Radiasi Matahari
Rumus
Radiasi Matahari
R = σT4
Keterangan :
R = Radiasi matahari( Kcal/m2/jam)
Σ = Konstanta Stefann Boltzman( 4,903 x
10-8)
T = Suhu mutlak dalam kelvin (273 + oC)
·
Perhitungan Radiasi Matahari Jam 18.00
WIB
R
= σT4
R
= 4,903 x 10-8x (273 + 27)4
= 4,903 x 10-8x (300)4
=
397,143 kCal/m2/jam
·
Perhitungan Radiasi Matahari Jam 24.00 WIB
R = σT4
R
= 4,903 x 10-8x (273 +26)4
= 4,903 x 10-8x (299)4
=
391,874
kCal/m2/jam
·
Perhitungan Radiasi Matahari Jam 06.00 WIB
R
= σT4
R
= 4,903 x 10-8x (273 +26)4
= 4,903 x 10-8x (299)4
=
391,874 kCal/m2/jam
·
Perhitungan Radiasi Matahari Jam 12.00 WIB
R =
σT4
R =
4,903 x 10-8x (273 +35)4
=
4,903 x 10-8x (308)4
= 464,68 kCal/m2/jam
·
Perhitungan Radiasi Matahari Jam 18.00 WIB
R =
σT4
R =
4,903 x 10-8x (273 +24)4
=
4,903 x 10-8x (297)4
= 381,49 kCal/m2/jam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar