Jumat, 15 April 2016

SEJARAH DESA BLIGOREJO DORO

SEJARAH DESA BLIGOREJO KECAMATAN DORO

Menurut Cerita para sesepuh yang ada bahwa babad sengkuninya Desa Bligorejo adalah serorang santri yang berasal dari Cirebon bernama Raden Ronggo Warsito .
   Pada jaman Kerajaan Cirebon yang dipimpim oleh Kanjeng Sunan Gunung jati yang pada hakekatnya menyebarkan agama islam , santri yang datang untuk menimba ilmu agama islam di Padepokan Sunan Gunungjati dari berbagai wilayah sekitar. Singkat ceritanya bahwa pada suatu ketika Kanjeng sunan Gunungjati mengumpulkan para santri yang telah mumpuni ilmu agamanya , setelah para santri berkumpul dipendopo padepokan gunungjati , Kanjeng sunan memberi wejangan , pada intinya kepada santri yang telah mampu ilmu agamanya agar bisa menyebarluaskan ilmunya kepada orang lain. Pada saat itulah Raden Ronggo Warsito mendapat tugas dari Kanjeng Sunan Gunung Jati untuk berjuang menyebarkan agama islam, dengan hati iklas Raden Ronggo Warsito menyanggupi tugas yang diembankan kepadanya.
   Keesokan harinya setelah pamitan kepada teman-teman santri, Raden Ronggo Warsito menghadap Kanjeng Sunan untuk pamitan dan mohon do’a restunya. Kanjeng sunan dengan rasa haru mendo’akan Raden Ronggo Warsito agar dalam perjuangannya mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Esa dan memberi bekal sebuah payung sebagai alat ( Aji-aji ) untuk menempuh perjalanannya.  Dengan bekal sebuah payung tersebut , Raden Ronggo warsito keluar dari Padepokan Gunungjati melangkahkan kakinya menuju kewilayah timur. Setelah bertahun-tahun menempuh perjalan, tidak disangka-sangka ( ora dikiro-kiro = bahasa jawa ) sampai ditepi sungai ( pinggir kali = bahasa jawa ), Raden Ronggo Warsito beristirahat dan melakukan semedi, mohon petunjuk kepada Sang Yang Pencipta , setelah mendapat petunjuk maka Raden Ronggo Warsito akrirnya menetap di wilayah itu untuk menyiarkan Agama Islam ,sejak itulah wilayah tersebut dinamakan Dukuh Kalikiro.
   Sebelum Raden Ronggo Warsito menyiarkan agama islam diwilayah tersebut ,  masyarakat menganut ilmu kepercayaan, yang menganggap pohon dan batu besar itu ada penghuninya atau dikramatkan. Oleh karena itu tidak mudah untuk mengenalkan agama baru di wilayah tersebut, banyak rintangan yang harus dihadapi.
Disamping Raden Ronggo Warsito  pandai dibidang agama,  juga pandai dibidang bercocok tanam, oleh karenanya disamping mengajarkan ilmu agama yang dibawanya juga  melakukan kegiatan bercocok tanam. Setelah sekian tahun lamanya melakukan perjuangan dan telah menghadapai berbagai rintangan, hanya  mendapatkan  2 orang pengikut / santri yaitu bernama Benggowo danBrojonoyo Hasanudin.  Dengan dibantu kedua orang santrinya, perjuangannya mulai merambah ke tempat lain , pada  suatu ketika ada seorang yang tersesat (kesasar = bahasa jawa ) , setelah bertemu dengan Benggowo terjadi percakapan , orang tersebut mengatakan bahwa dirinya sebatang kara tiada sanak kadang ,kemudian  orang tersebut menyatakan keinginannya untuk menjadi pengikut/santrinya. Dengan adanya peristiwa orang tersesat ( kesasar ) tersebut maka wilayah itu  dinamakan Dukuh Transan.
   Pada suatu ketika,  ada seorang  penduduk yang disegani / dituakan dari  wilayah selatan dukuh Transan datang marah-marah, merasa dirinya direndahkan kedudukannya, sampai akhirnya mengajak bertanding dengan Raden Ronggo Warsito, namun tidak dilayani tantangan tersebut. Benggowo sebagai santri tertua yang menemui orang tersebut,  dengan rendah hati diajak bicara secara baik-baik dan dipersilahkan  mampir ke rumah. Setelah bicara panjang lebar dan dijelasan tentang agama islam dari Benggowo, orang tersebut bersedia menemui  Raden Ronggo Warsito. Sesampainya di rumah, Raden Ronggo Warsito mempersilahkan duduk dan memberi secangkir air putih kepada orang tersebut. Dengan nada penuh kesabaran, Raden Ronggo Warsito menerangkan tentang agama yang dibawanya yaitu agama islam.  Entah kenapa orang tersebut  mendengarkan  ceramah darinya, gemetar dan mengeluarkan keringat banyak sekali, seketika itu juga orang tersebut pamitan. Seminggu kemudian  orang tersebut datang ke rumah Raden Ronggo Warsito minta ma’af dan menyatakan kesediaannya  masuk agama islam. Pada suatu saat orang tersebut disamping belajar  ilmu agama islam, mohon petunjuk tentang bercocok tanam. Raden Ronggo Warsito mengajarkan tentang tata cara  bagaimana bercocok tanam yang baik terutama menanam waluh bligo. Sesuai dengan yang diajarkannya, orang tersebut mulai menanam waluh bligo di wilayahnya, ternyata benar setahun kemudian, orang tersebut bisa panen waluh bligo yang sangat banyak dan hidupnya semakin melimpah ruah ( Rejo bahasa jawa ).  Atas keberhasilan orang tersebut menanam waluh bligo, bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga orang itu terkenal dengan panggilan mbah Bligo dan  wilayah tersebut dinamakan Dukuh Bligo.
   Santri Raden Ronggo Warsito  yang mengaku dirinya tidak punya sanak kadang, dalam mempelajari ilmu agama islam sangat tekun. Disamping mengamalkan ajaran yang telah didapatkan, orang tersebut selalu mengharap mendapatkan petunjuk langsung dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu bersemedi/bertapa. Raden Ronggo Warsito mengetahui perilaku santrinya yang demikian, beliau langsung memberi wejangan dan petunjuk kepadanya, agar melakukan semedi/bertapa di bawah pohon besar yang miring ( pohon condong) yang dikelilingi tanaman bunga melati. Setelah mendapat wejangan, Santri tersebut bergegas pamitan dan mohon do’a restu agar dalam perjalanannya mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kepercayaan yang mantap, pada pertengahan malam  santri tersebut melangkahkan kakinya untuk mencari pohon condong tempat bersemedi, dan keesokan harinya baru ditemukan pohon yang condong dikelilingi tanaman bunga melati. Selama 40 hari 40 malam melakukan semedi/bertapa,  tidak makan dan tidak minum, berbagai cobaan dan godaan telah  dihadapi. Pada malam ke 40 yaitu malam jum’at kliwon muncul sinar terang benderang dari kayangan yang jatuh dipangkuannya. Dalam keadaan bersila santri tersebut mengucapkan uluk salam,saat itu juga ada bisikan ditelinganya agar mengakhiri semesdinya dan benda yang bersinar itu adalah  sebuah Tongkat.
Setelah  mencari air untuk membasuh muka yang kusut tidak ditemukan sumber air maka tongkatnya ditancapkan ke tanah dan dicabut kembali, keluarlah air dari dalam tanah tersebut, yang sekarang dikenal sumur sicoet. Wilayah itu dinamakan Dukuh Condongmlati dan Santri tersebut bergelar Mbah Condong.
   Pada pagi hari mbah Condong hendak pulang kepadepokan, dalam perjalanan dicegat oleh  seorang laki-laki berwajah seram  mengaku bernama mbah Duda, minta barang ( Tongkat ) yang dibawanya. Mbah Condong  bersikukuh mempertahankan tongkat tersebut, mengingat untuk mendapatkannya dengan susah payah, maka terjadilah perkelahian, saling adu kesaktian  antara Mbah Condong  dengan mbah Duda. Tempat yang untuk berkelahi buminya bergetar ( Rag-reg  bahasa jawa ) bagaikan ada lindu. Yang sekarang wilayah tersebut dinamakan Dukuh Regenan.
   Setelah mengeluarkan ilmu kesaktian pamungkasnya, Mbah Duda merasa tidak mampu untuk mengalahkannya melarikan diri, namun  mbah Condong tetap mengejarnya. Berhari-hari mbah Condong mencari mbah Duda  sampai  ke wilayah yang sangat sepi ( Plosok ) tidak diketemukan. Mbah Condong memutuskan untuk pulang dan wilayah yang sangat sepi ( Plosok ) tersebut dinamakan Dukuh Ploso.
   Asal mula nama Desa Bligorejo diambil dari nama buah Waluh Bligo yang ditanam oleh seseorang. Dari Waluh Bligo itulah orang tersebut mencukupi kebutuhan hidupnya dan bisa menjadikan kekayaan yang banyak sehingga dijuluki Mbah Bligo. Sampai-sampai banyak warga masyarakat yang ikut bercocok tanam Waluh Bligo dan kehidupan warga masyarakat semakin meningkat (rejo). Maka dari itu desa tersebut dinamakan Desa Bligorejo.
   Jauh sebelum Indonesia merdeka tepatnya sebelum tahun 1923 wilayah yang sekarang dikenal sebagai Desa Bligorejo dahulu adalah wilayah yang masih jarang penduduknya dan banyak lahan tanah yang masih semak belukar. Masing-masing wilayah pedukuhan , rumah yang satu dengan tetangga  yang lain masih jauh.
 Menginjak pertengahan tahun 1923 sampai dengan tahun 1938 Desa Bligorejo dipimpin oleh seorang bernama Da’an . Pada tahun 1925 dibangun Gedung SD Negeri I Bligorejo ( yang dulunya SR ) hanya 3 lokal, kelas I sanpai kelas III, yang bersekolah berasal dari beberapa desa antara lain Desa Bligorejo, Bligorejo, Kedungkebo dan Karangdadap. Kegiatan perekonomian masyarakat setempat sebagian besar adalah  petani dan diantara mereka ada beberapa yang menjadi pedagang , membeli hasil pertanian dan kebun  mereka . Biasanya para penduduk juga memelihara hewan ternak berupa kerbau , kambing dan unggas . Namun demikian taraf hidup masyarakat masih sangat rendah .
 Masa kepemimpinan pada saat itu berlaku seumur hidup, oleh karena itu pergantian pemimpin dilakukan setelah Kepala Desa/Luah meninggal dunia. Setelah Kepala Desa/Lurah Da’an meninggal dunia tepatnya tahun 1939 dilakukan pemilihan. Atas pertimbangan para sesepuh desa dan para pemuka masyarakat maka dilaksanakan pemilihan Kepala Desa/Lurah dan yang menjadi kesepakatan waktu itu cara pemilihannya diadakan secara “ dodokan “  yaitu warga memilih dengan cara jongkok [ ndodok ] dibelakang calon kepala desa / lurah sesuai pilihannya . Yang terpilih waktu itu adalah Bapak Warmad sebagai Kepala Desa/Lurah baru yang memimpin Desa Bligorejo . Sistem pemilihan lurah secara dodokan ternyata berakibat sangat fatal karena antara pemilih yang satu dengan yang lain terjadi pemisahan kelompok pemilih secara nyata sehingga setelah proses pemilihan selesai selalu terjadi kerusuhan antar warga bahkan sampai terjadi aksi brutal warga yang antara lain sampai terjadinya aksi bakar-membakar rumah antar kelompok pemilih .
Dalam masa pemerintahan Lurah Warmad pada  tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 yaitu pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kehidupan perekonomian masyarakat Desa Bligorejo masih memprihatinkan, banyak warga penduduk yang terserang wabah penyakit kudis, gudik, kutu jepang, beri-beri dan busung lapar, karena  tentara Jepang menerapkan sistem kerja paksa ( Kerja Romusa ) pada masyarakat Bligorejo untuk kepentingannya. Kerja paksa itu berlangsung selama bertahun-tahun bahkan sampai terjadinya peristiwa Nagasaki dan Hirosima dibom oleh Sekutu yaitu tahun 1945.
 Pada tahun 1946 diadakan pemilihan lurah kembali namun tidak lagi menggunakan sistem dodokan karena dikhawatirkan akan menimbulkan aksi brutal warga. Lalu dicapai kesepakatan antara para pemuka desa dan masyarakat yaitu dalam melaksanakan pemilihan lurah menggunakan sistem ” Bitingan ” (Biting = lidi ) yaitu bahwa calon lurah yang akan dipilih menggunakan  lidi  diberi tanda warna yang berbeda satu dengan lainnya sebagai simbol dari masing-masing calon dan yang terpilih adalah Bapak Samukmin dan dia menjabat  Lurah hanya 3 tahun sampai dengan   tahun 1948.  Dalam masa pemerintahannya belum bisa merubah kehidupan perekonomian penduduk Desa Bligorejo karena situasi keamanan belum stabil dan terjadi peristiwa besar yang berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat Bligorejo antara lain , meletusnya PKI di Madiun.
Setelah meninggalnya Lurah Samukmin , Desa Bligorejo dipimpin olehBapak Sobari pada tahun 1949 sampai dengan 1951. Kondisi keamanan masih menjadi kendala bagi warga masyarakat  untuk menjalankan roda perokonomiannya. Pada saat itu hukum yang berlaku masih hukum rimba         ( yang kuat yang berkuasa ) banyak garong, maling dan warga yang lemah menjadi sasarannya. Lurah Sobari berakhir karena meninggal dunia.
Pada tahun 1952 sampai dengan 1953 adalah masa kepemimpinan Lurah Makpul. Pada saat itu  jabatan lurah karena terjadi kekosongan kepemimpinan, belum diadakan pemilihan  lurah. Masyarakat masih enggan untuk mencalonkan diri sebagai lurah karena beranggapan bahwa lurah Sobari meninggal dunia karena disantet.
 Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1954, Desa Bligorejo menyelenggarakan pemilihan Kepala Desa ( Lurah ) yang diikuti oleh 7 orang peserta Calon Kepala Desa ( lurah )  yaitu Bapak Marjen, Waryo Wardoyo, Tarmidi, Wartam, Ahmad Djaelani, Makpul dan Kartono. Dari hasil pemilihan tersebut yang mendapatkan terbanyak adalah Bapak Tarmidi maka dilantiknya Bapak Tarmidi menjadi Kepala Desa Bligorejo. Seminggu kemudian Kepala Desa Mengadakan pertemuan dengan aparat pemerintah yang ada, untuk merencanakan program kerja. Program  pembangunan yang didahulukan pada saat itu adalah pembangunan  gedung sarana pemerintahan, mengingat sebelumnya Kepala Desa dalam menjalankan roda pemerintahannya dilakukan di rumah Kepala Desa. Untuk melaksanakan program tersebut di atas, Kepala Desa membentuk Lembaga Sosial Desa ( LSD ).  Lembaga Sosial Desa mengadakan selapanan Desa yang dihadiri oleh Kepala Desa dan Perangkatnya, Tokoh agama , Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, untuk mensosialisasikan program pembangunan yang akan dilaksanakan yaitu Pembangunan Gedung Kantor dan Balai Desa Bligorejo. Dalam Rapat menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :
1.        Pembangunan Gedung Kantor dan Balai Desa;
2.        Iuran Swadaya Masyarakat.
Kondisi perumahan penduduk pada waktu itu juga masih banyak yang  kurang memenuhi syarat / tidak layak huni yaitu lantai masih tanah , dinding dari anyaman bambu tanpa jendela serta atap dari anyaman daun bulung  (welitan). Walaupun kondisi masyarakat masih demikian , semangat membangunnya tinggi, pada akhirnya masyarakat berantusias mengeluarkan swadaya berbentuk uang , material dan tenaga gotong royong demi terlaksananya pembangunan tersebut, tepatnya pada tahun 1956 Gedung Kantor dan Balai Desa Bligorejo selesai dibangun. Setahun kemudian mendapat Dana bantuan dari Pemerintah untuk pembangunan  SDN Bligorejo I ( 3 Lokal ) . Dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan agar masyarakat yang jauh mau besekolah maka dibangun SDN Bligorejo II yang bertempat di Dukuh Ploso pada tahun 1969 hanya 3 lokal yaitu Kelas 1sampai dengan kelas 3 , untuk jenjang pendidikan selanjutnya ke SDN Bligorejo I.
 Kondisi ekonomi masyarakat mulai meningkat,  rumah penduduk mulai dibangun dengan memakai pondasi batu dan berdinding tembok walaupun masih banyak  dindingnya dari anyaman bambu. Program KB pun mulai masuk di Desa Bligorejo, sebagian besar masyarakat menyambut dengan baik  untuk mengatur jarak kelahiran menuju keluarga kecil bahagia dan sejahtera .
Pada tahun 1982 Desa  Bligorejo mendapat bantuan Dana INPRES untuk pembangunan SDN Bligorejo III 3 lokal, yang terletak di sebelah selatan SDN Bligorejo I. Untuk menunjang peningkatan hasil pertanian, Bendungan yang dibangun antara lain bendungan Sielo, bendungan Asem dan bendungan Nogosari yang menggunakan Gronjong (batu gronjong). Juga ada pemugaran rumah 10 unit masing-masing menerima @ 100.000 rupiah Bapak Tarmidi memimpin Desa Bligorejo selama 35 tahun dan dengan berakhirnya masa jabatannya, Balai dan Kantor Desa   dibongkar, mengingat bangunan tersebut terletak di tanah milik (milik Bapak Tarmidi).
 Pada tahun 1989 dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa dengan calon 2 orang yaitu , Bapak Karlani dan Bapak Odang Khaerudin. Yang berhasil memperoleh suara terbanyak/menjadi Kepala Desa adalah Bapak Karlani .
Program yang menonjol antara lain pada tahun 1990 pembangunan Balai Desa dan tahun 1992 dibangun Kantor Desa yang terletak di tanah desa., program KB dan posyandu, pembangunan Jembatan Beton, pembangunan permanen bendungan Sielo dan pembangunan / pengaspalan jalan Desa            ( Bligo-Ploso ). Tahun 1998 ada bantuan raskin dari pemerintah yang sasarannya untuk masyarakat miskin yang per KK menerima 20 kg tapi di praktek di desa itu menimbulkan kecemburuan warga yang tidak menerima bahkan sampai ke pemerintahan desa dianggap tidak adil sehingga kebijakan dari pemerintah desa membagi rata beras itu kepada seluruh warga masyarakat padahal bagi keluarga mampu tidak membutuhkannya. Masa jabatan Kepala Desa Bapak Karlani selama 10 tahun yang berakhir pertengahan tahun 1999.
Tahun 1999 diadakan pemilihan kepala desa baru dengan dua calon yaitu nomor 1 dengan simbol padi Bapak Wasari dan nomor 2 dengan simbol ketela Bapak Solikhin yang dimenangkan oleh Bapak Wasari. Ada beberapa penonjolan pembangunan dalam masa jabatannnya antara lain pembuatan lapangan sepak bola pada masa awal jabatannya sebagai bukti dari programnya saat mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa, pada tahun 2000 mendapat bantuan dari pemerintah untuk kelompok tani berupa uang sebesar Rp. 70 juta digunakan untuk membeli traktor, pupuk, obat-obatan pertanian dan perawatan bendungan. Membangun Rehab Balai desa , dan pembangunan pengaspalan jalan desa. Tahun 2005 dilaksanakan pembangunan  masjid At Taqwa Dukuh Ploso . Pada tahun ini ada kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan Langsung Tunai banyak terjadi kecemburuan sosial , masyarakat banyak yang protes menganggap Pemerintah Desa tidak adil , program dari pemerintah pusat ini kurang mengenai sasaran. Pada tahun itu juga terjadi peristiwa banyak unggas mati mendadak. Untuk mencukupi kebutuhan air bersih Desa Bligorejo mendapatkan bantuan pembangunan sarana air bersih di wilayah Dukuh Ploso dan Dukuh Regenan. Tahun 2006 mendapatkan program padat karya (pengerasan jalan tembus Bligorejo – Kedungkebo) dan perbaikan 10 rumah tidak layak huni. Sesuai undang-undang waktu itu masa jabatan kepala desa selama 8 tahun sehingga Kepala Desa Bapak Wasari berakhir pada bulan Juni 2007.
Pada tahun 2007 dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa masa bhakti 2007-2013 dengan calon 4 orang yaitu, Bapak Wasari, Bapak Wajidin, Ibu Titik Erowati dan Endang Cahyaningsih . Dan yang berhasil memperoleh suara terbanyak/menjadi kepala desa adalah Ibu Titik Erowati. Program yang telah dilaksanakan pembangunan bendungan Asem dari dana Pemerintah Propinsi, pembangunan bendungan Nogosari, pembangunan gedung TK, Gedung PAUD, pengaspalan jalan Jambangan yang menghubungkan Bligorejo dengan Bligorejo, pengaspalan jalan Dk. Ploso yang menghubungkan Bligorejo dengan Kedungkebo dan SPP (simpan pinjam perempuan) yang di danai dari PNPM-MD, pengaspalan jalan Transan – Ploso , Regenan – Bligo dari dana Pemerintah Pusat ( PPIP ), program PAMSIMAS (penyediaan air bersih), pengaspalan jalan Ploso – Banjarsari dari dana Pemerintah Propinsi. Dibidang kesehatan membangun PKD (Poliklinik Desa). Adapun dana BSPD/ADD yang didapatkan setiap tahun digunakan untuk melanjutkan program pengaspalan jalan desa dan penyemiran jalan aspal desa yang telah rusak. Tepatnya tanggal 20 Juni 2013 masa kepemimpinan Kepala Desa Titik Erowati berakhir .
Pada tanggal 15 September 2013 dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa masa bhakti 2013 – 2018 yang diikuti oleh 2 orang Calon Kepala Desa yaitu Ibu Titik Erowati dan Bapak Wasari, dengan suara terbanyak diperoleh oleh Ibu Titik Erowati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar